UPAH MAKSIMUM (2)

Oleh : Galih Tri Panjalu 

Setiap tahun, buruh di Indonesia, (sering kali) harus turun ke jalan, untuk memperjuangkan kenaikan upah minimum, baik itu Upah Minimum Provinsi maupun Upah Minimum Kota/Kabupaten, atau juga Upah Minimum Sektoral Provinsi maupun Upah Minimum Sektoral Kota/ Kabupaten.

Tahun ini, perjuangannya tidak hanya turun ke jalan, namun juga melalui wakil buruh yang duduk di dewan pengupahan, bernegosiasi dengan wakil pengusaha, dan juga wakil pemerintah, pun dalam hal keterwakilan yang perbandingannya 1:2:1, yang meskipun dimaklumi karena anggap saja wakil buruh dan wakil pengusaha tidak pernah sepakat untuk angka yang sama, maka harus ada yang menengahi, yaitu wakil pemerintah, yang mempunyai suara pembanding 2 (dua), agar kira-kira nanti, ketika wakil pengusaha dan wakil buruh jumpa imbang, mereka harus tunduk pada wakil pemerintah sebagai penentu suara. Harus ada yang kalah, dan kita (setidaknya saya) tahu, siapa yang biasanya kalah.

Kembali ke upah minimum, setidaknya definisi upah minimum tercantum dalam pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 tahun 2021 tentang pengupahan, bahwa upah minimum adalah upah bulanan terendah, dan di ayat (3) menyebutkan bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.

Lebih lanjut, dalam pasal 24 ayat (1) menyebutkan bahwa upah minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 berlaku bagi buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan yang bersangkutan, dan di ayat (2) menyatakan bahwa upah bagi buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih berpedoman pada struktur dan skala upah.

Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) seharusnya tafsirnya sederhana, upah minimum hanya berlaku bagi buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, sedangkan buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih, upahnya harus lebih besar dari upah minimum, pun kemudian menggunakan pedoman struktur dan skala upah, namun nominal yang ada di dalam struktur dan skala upah tersebut harus lebih besar dari upah minimum, karena struktur dan skala upah diberlakukan hanya untuk buruh dengan masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun.

Dalam praktiknya, pasal 23 dan pasal 24 yang seharusnya menjadi pedoman bagi buruh dan pengusaha (dan juga seharusnya pemerintah, yang menjadi pengawas penegakan hukum ketenagakerjaan), sering kali dikangkangi oleh pengusaha yang berbisnis nir etika.

Sangat sering kita dapati bahwa buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih, bahkan buruh yang sudah bekerja selama belasan atau puluhan tahun di tempat kerja atau di perusahan yang sama, upahnya masih sebatas upah minimum, sehingga muncul anekdot, upah minimum menjadi upah maksimum. Karena upah minimum yang seharusnya diperuntukkan bagi buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, justru menjadi upah maksimum bagi buruh, karena akan selamanya upahnya akan sama dengan upah minimum, tidak akan pernah naik, tidak akan pernah lebih besar dari upah minimum. Upah minimum = upah maksimum, adalah realita di tempat kerja yang terjadi selama ini.

Konsep upah minimum pada awalnya mengacu pada kebutuhan hidup layak (KHL), setidaknya berdasarkan Permenaker nomor 13 tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian kebutuhan Hidup Layak, dimana KHL adalah standar kebutuhan buruh lajang (bukan untuk menanggung keluarga) untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan. Nilai KHL inilah yang digunakan untuk menetapkan upah minimum yang berlaku bagi buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun. Oleh karena itu, pada dasarnya upah minimum diperuntukkan bagi pekerja lajang dan dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.

Sebatas pemahaman penulis, meskipun Permenaker nomor 13 tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian kebutuhan Hidup Layak, tidak ada pencabutan secara eksplisit, artinya secara formal masih tetap berlaku, tetapi dikarenakan adanya perubahan cara penghitungan upah minimum yang tercantum dalam UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (sekarang UU No. 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang) dan turunannya yaitu PP No 36 tahun 2021 tentang Pengupahan, sehingga konsep KHL sudah tidak digunakan lagi dan diganti dengan penggunaan rumus untuk menentukan upah minimum, namun demikian, tidak membuat konsep penentuan upah minimum yang diperuntukan hanya bagi pekerja lajang menjadi hilang.

Meskipun penentuan upah minimum sekarang ini yang masih menggunakan rumus, tetap harus dikritisi, namun yang tidak kalah pentingnya, bahwa penerapan upah minimum seharusnya masih tetap diperuntukkan bagi buruh lajang dan dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, sedangkan buruh yang sudah berkeluarga dan dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih, upahnya harus lebih besar dari upah minimum.

Upah bagi buruh yang sudah berkeluarga dan dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih, yang seharusnya lebih besar dari upah minimum, ternyata juga mempunyai masalah tersendiri, karena masih ada anggapan bahwa upah adalah menjadi kewenangan pengusaha untuk menentukannya, dimana seharusnya upah bagi buruh adalah upah hasil dari negosiasi yang diwujudkan dalam sebuah kesepakatan, sehingga yang terjadi kemudian adalah, meskipun nominal upah bagi buruh yang sudah berkeluarga dan dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih, lebih besar dari upah minimum, namun nominalnya tidak naik seberapa, karena Rp. 1.000,- (seribu rupiah) di atas upah upah minimum, tidak melanggar hukum.

Pelanggaran penerapan upah minimum di dunia kerja yang selama ini terjadi, sebenarnya tidak hanya terjadi karena pengusahanya nir etika, namun juga dikarenakan buruhnya yang tidak berani memperjuangkan haknya (dengan berbagai alasan), dan juga pemerintah yang seolah “menutup mata” atas apa yang terjadi selama ini dalam hal penerapan upah minimum di tempat kerja.

Mengutip autobiografi Tan Malaka dalam bukunya “Dari Penjara ke Penjara”, “Bukankah 99,9% dari pelanggaran undang-undang itu berurat pada kebusukan, kebodohan, dan kemelaratan anggota masyarakat itu sendiri”.

Apapun itu, selamat menikmati penyesuaian upah minimum di tahun depan, namun harus diingat, upahmu tidak seharusnya ditentukan oleh rumus, namun seharusnya ditentukan oleh kesadaran kolektif dari seluruh buruh di tempat kerjamu, dan kesadaran kolektif itu menjadi kekuatan buruh yang riil untuk dapat bernegosiasi dengan pengusaha, agar mendapatkan upah yang layak bagimu, bagi keluargamu, dan bagi masa depanmu.


Posting Komentar

© 2013 - 2021 Federasi Serikat Pekerja Mandiri. Developed by Jago Desain