Oleh : Galih Tri Panjalu
Setiap tahun,
buruh di Indonesia, (sering kali) harus turun ke jalan, untuk memperjuangkan kenaikan upah minimum, baik itu Upah Minimum Provinsi maupun Upah Minimum Kota/Kabupaten, atau juga Upah
Minimum Sektoral Provinsi maupun Upah Minimum Sektoral Kota/ Kabupaten.
Tahun ini,
perjuangannya tidak hanya turun ke jalan, namun juga melalui wakil buruh yang
duduk di dewan pengupahan, bernegosiasi dengan wakil pengusaha, dan juga wakil
pemerintah, pun dalam hal keterwakilan yang perbandingannya 1:2:1, yang
meskipun dimaklumi karena anggap saja wakil buruh dan wakil pengusaha tidak
pernah sepakat untuk angka yang sama, maka harus ada yang menengahi, yaitu
wakil pemerintah, yang mempunyai suara pembanding 2 (dua), agar kira-kira nanti, ketika wakil pengusaha dan
wakil buruh jumpa imbang, mereka harus tunduk pada wakil pemerintah sebagai penentu suara. Harus ada yang kalah, dan kita (setidaknya saya) tahu, siapa
yang biasanya kalah.
Kembali ke upah
minimum, setidaknya definisi upah minimum tercantum dalam pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP)
No. 36 tahun 2021 tentang pengupahan, bahwa upah minimum adalah upah bulanan
terendah, dan di ayat (3) menyebutkan bahwa pengusaha dilarang membayar upah
lebih rendah dari upah minimum.
Lebih lanjut,
dalam pasal 24 ayat (1) menyebutkan bahwa upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam pasal 23 berlaku bagi buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun
pada perusahaan yang bersangkutan, dan di ayat (2) menyatakan bahwa upah bagi
buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih berpedoman pada struktur dan
skala upah.
Pasal 24 ayat
(1) dan ayat (2) seharusnya tafsirnya sederhana, upah minimum hanya berlaku
bagi buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, sedangkan buruh dengan
masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih, upahnya harus lebih besar dari upah
minimum, pun kemudian menggunakan pedoman struktur dan skala upah, namun nominal
yang ada di dalam struktur dan skala upah tersebut harus lebih besar dari upah
minimum, karena struktur dan skala upah diberlakukan hanya untuk buruh dengan
masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun.
Dalam
praktiknya, pasal 23 dan pasal 24 yang seharusnya menjadi pedoman bagi buruh
dan pengusaha (dan juga seharusnya pemerintah, yang menjadi pengawas penegakan
hukum ketenagakerjaan), sering kali dikangkangi oleh pengusaha yang berbisnis
nir etika.
Sangat sering kita dapati bahwa buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih, bahkan buruh yang sudah bekerja selama belasan atau puluhan tahun di tempat kerja atau di perusahan yang sama, upahnya masih sebatas upah minimum, sehingga muncul anekdot, upah minimum menjadi upah maksimum. Karena upah minimum yang seharusnya diperuntukkan bagi buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, justru menjadi upah maksimum bagi buruh, karena akan selamanya upahnya akan sama dengan upah minimum, tidak akan pernah naik, tidak akan pernah lebih besar dari upah minimum. Upah minimum = upah maksimum, adalah realita di tempat kerja yang terjadi selama ini.
Konsep upah
minimum pada awalnya mengacu pada kebutuhan hidup layak (KHL), setidaknya
berdasarkan Permenaker nomor 13 tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan
Tahapan Pencapaian kebutuhan Hidup Layak, dimana KHL adalah standar kebutuhan
buruh lajang (bukan untuk menanggung keluarga) untuk dapat hidup layak secara
fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan. Nilai KHL inilah yang digunakan untuk
menetapkan upah minimum yang berlaku bagi buruh dengan masa kerja kurang dari 1
(satu) tahun. Oleh karena itu, pada dasarnya upah minimum diperuntukkan bagi
pekerja lajang dan dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.
Sebatas
pemahaman penulis, meskipun Permenaker nomor 13 tahun 2012 tentang Komponen dan
Pelaksanaan Tahapan Pencapaian kebutuhan Hidup Layak, tidak ada pencabutan
secara eksplisit, artinya secara formal masih
tetap berlaku, tetapi dikarenakan adanya perubahan cara
penghitungan upah minimum yang tercantum dalam UU Nomor 11 tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (sekarang UU No. 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta
Kerja menjadi Undang-Undang) dan turunannya yaitu PP No 36
tahun 2021 tentang Pengupahan, sehingga konsep
KHL sudah tidak digunakan lagi dan diganti dengan penggunaan rumus untuk
menentukan upah minimum, namun demikian, tidak membuat konsep penentuan upah
minimum yang diperuntukan hanya bagi pekerja lajang menjadi hilang.
Meskipun penentuan upah minimum sekarang ini yang masih menggunakan rumus,
tetap harus dikritisi, namun yang tidak kalah pentingnya, bahwa penerapan upah
minimum seharusnya masih tetap diperuntukkan bagi buruh lajang dan dengan masa
kerja kurang dari 1 (satu) tahun, sedangkan buruh yang sudah berkeluarga dan
dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih, upahnya harus lebih besar dari
upah minimum.
Upah bagi buruh yang sudah berkeluarga dan dengan masa kerja 1 (satu)
tahun atau lebih, yang seharusnya lebih besar dari upah minimum, ternyata juga
mempunyai masalah tersendiri, karena masih ada anggapan bahwa upah adalah
menjadi kewenangan pengusaha untuk menentukannya, dimana seharusnya upah bagi
buruh adalah upah hasil dari negosiasi yang diwujudkan dalam sebuah
kesepakatan, sehingga yang terjadi kemudian adalah, meskipun nominal upah bagi
buruh yang sudah berkeluarga dan dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih,
lebih besar dari upah minimum, namun nominalnya tidak naik seberapa, karena Rp.
1.000,- (seribu rupiah) di atas upah upah minimum, tidak melanggar hukum.
Pelanggaran penerapan upah minimum di dunia kerja yang selama ini terjadi,
sebenarnya tidak hanya terjadi karena pengusahanya nir etika, namun juga
dikarenakan buruhnya yang tidak berani memperjuangkan haknya (dengan berbagai
alasan), dan juga pemerintah yang seolah “menutup mata” atas apa yang terjadi
selama ini dalam hal penerapan upah minimum di tempat kerja.
Mengutip autobiografi Tan Malaka dalam bukunya “Dari Penjara ke Penjara”, “Bukankah
99,9% dari pelanggaran undang-undang itu berurat pada kebusukan, kebodohan, dan
kemelaratan anggota masyarakat itu sendiri”.
Apapun itu, selamat menikmati penyesuaian upah minimum di tahun depan,
namun harus diingat, upahmu tidak seharusnya ditentukan oleh rumus, namun
seharusnya ditentukan oleh kesadaran kolektif dari seluruh buruh di tempat
kerjamu, dan kesadaran kolektif itu menjadi kekuatan buruh yang riil untuk
dapat bernegosiasi dengan pengusaha, agar mendapatkan upah yang layak bagimu,
bagi keluargamu, dan bagi masa depanmu.

.png)