Dalam konteks ketenagakerjaan, risalah perundingan bipartit [bi: dua, partit: pihak] merupakan bukti bahwa telah dilakukan sebuah perundingan antara 2 pihak, yaitu pihak pengusaha/ perusahaan dengan pihak pekerja atau serikat pekerja, yang dilakukan dengan itikad baik untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang terjadi.
Menurut Permenakertrans RI Nomor Per.31/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit, definisi dari perundingan bipartit adalah :
Perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam satu perusahaan, yang dilakukan dengan prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat secara kekeluargaan dan keterbukaan.
Sebuah perundingan bipartit yang pada dasarnya tujuannya
untuk mendapatkan hasil perundingan yang baik, akan menjadi percuma atau
sia-sia ketika ternyata dieksekusi dengan isi dari risalah perundingan bipartit
yang tidak mencerminkan hasil dari perundingan yang baik itu tadi.
Sebenarnya, pada bagian lampiran ketentuan permenakertrans tersebut
di atas, yaitu lampiran ketiga, juga sudah mencantumkan contoh dari risalah
perundingan bipartit, namun masih saja sering terjadi dimana pengurus serikat
pekerja tidak tahu bagaimana membuat risalah perundingan bipartit, dan akhirnya
membuat risalah perundingan yang seadanya, yang tidak mencerminkan risalah
perundingan yang baik, atau malah kemudian menyerahkan kepada pihak pengusaha
untuk membuat risalah perundingan bipartit tersebut.
Ketidakmampuan membuat risalah perundingan bipartit,
setidaknya terjadi karena 2 sebab, pertama, pengurus serikat pekerja tidak membaca
permenaker tersebut, kedua, pengurus serikat pekerja sudah membacanya, namun
tidak memahami bagaimana menerapkannya dalam praktek, karena memang tidak ada
panduan bagaimana menulis atau membuat risalah perundingan bipartit tersebut.
Hal inilah yang membuat masih banyaknya pengurus serikat yang
mempunyai pertanyaan seputar membuat risalah perundingan bipartit, seperti
misalnya;
“ Siapa yang membuat risalah perundingan?
“ Kapan risalah perundingan dibuat?”
“Apakah risalah perundingan dapat dibuat setelah perundingan selesai?”
“Siapa yang menandatangani risalah perundingan tersebut? Apakah seluruh Tim perunding yang hadir? Atau hanya perwakilan dari tim perundingan dari masing-masing pihak yang hadir?
“Siapa yang berhak untuk menyimpan Risalah Perundingan Bipartit yang asli?”
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, di
bawah ini adalah penjelasan tentang isi dari risalah perundingan bipartit.
Isi Risalah Perundingan Bipartit.
Risalah perundingan bipartit setidaknya memuat hal-hal
sebagai berikut:
Judul Surat.
Isi dengan RISALAH PERUNDINGAN
BIPARTIT.
Kapan dilaksanakan.
Isi dengan hari, tanggal, bulan, dan
tahun ketika perundingan berlangsung
Contoh : Pada hari ini, Selasa, 29
Februari 2022 dst…..
Tempat Pelaksanaan.
Isi dengan tempat dimana dilaksanakannya
perundingan bipartit.
Contoh : bertempat di Ruang Anyelir, Hotel
ABC, Jakarta Pusat dst…..
Para Pihak dan Alamat Para Pihak.
Isi dengan nama masing-masing pihak dan beralamat dimana.
Contoh:
Pihak perusahaan PT. XXX yang
beralamat di Jl. Gatot Subroto Kav XX No. 1 Banyuwangi dan pihak Serikat
Pekerja Mandiri PT. XXX beralamat di Jl. Gatot Subroto Kav XX No. 1 Banyuwangi.
Nama-nama pihak yang hadir.
Isi dengan (sebaiknya) nama lengkap dan jabatan dari masing-masing pihak yang hadir dalam perundingan bipartit.
Contoh:
Pihak Serikat Pekerja:
1. Anton Subarkah,
Ketua Serikat Pekerja;
2. Betty Sutomo,
Wakil Ketua Serikat Pekerja;
3. Dedi Laksana,
Sekretaris Umum;
4. Elan Wijaya,
Komite Advokasi;
5. Hani Tantular,
Komite Perempuan.
Pihak Perusahaan:
1. Tomi Supriyadi, General
Manajer;
2. Susi Sambodo,
Direktur SDM;
3. Supadan,
Direktur Keuangan;
4. Tutik Irawati,
Kepala Security.
Pokok Permasalahan.
Masukkan duduk persoalan dengan
mendeskripsikan persoalan/ permasalahan tersebut dengan kalimat yang sederhana
dan dipahami oleh para pihak maupun orang lain yang membacanya.
Pendapat para Pihak.
Isi dengan pendapat dari masing-masing pihak, baik dari pihak pengusaha maupun dari pihak serikat pekerja.
Masing-masing pihak tidak boleh melakukan intervensi apalagi mendikte kepada pihak lain atas pendapat dari masing-masing pihak.
Apabila ditulis dengan tangan, maka pihak serikat pekerja harus menulis sendiri pendapatnya pada bagian pendapat serikat pekerja, dan tidak boleh dintervensi oleh pihak perusahaan atau pihak manajemen, begitu juga sebaliknya, pihak perusahaan harus menulis sendiri pendapatnya di bagian pendapat perusahaan, dan tidak boleh diintervensi oleh pihak serikat pekerja.
Apabila diketik dengan komputer, maka setiap kata yang diketik pada bagian pendapat oleh masing-masing pihak, harus diketik sesuai dengan apa yang disampaikan, tidak boleh dikurangi maupun ditambah sedikitpun.
Harus diingat, ketika menuliskan pendapat Serikat, pastikan bahwa pendapat tersebut adalah pendapat kolektif dari tim perunding serikat, hindari mencantumkan nama orang dan apa yang disampaikan oleh orang tersebut.
Contoh yang sebaiknya tidak
dilakukan:
Dedi Laksana : “Serikat menginginkan agar sdr. Dino Opo tidak
di PHK karena bukan dia yang melakukan tindakan yang dikategorikan kesalahan
berat”.
Kesimpulan.
Pada bagian kesimpulan, isilah dengan kalimat sederhana dan jelas yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat mengisi bagian kesimpulan:
1. Apabila perundingan bipartit belum ada kata sepakat, dan kedua belah pihak sepakat untuk melakukan perundingan bipartit selanjutnya, maka pastikan untuk menyebutkan kapan pelaksanaan perundingan bipartit selanjutnya.
Contoh :
Kedua
belah pihak bersepakat untuk melaksanakan perundingan selanjutnya pada hari
Rabu, 10 Maret 2022.
2. Apabila perundingan bipartit sudah tidak dapat dilanjutkan lagi karena kedua belah pihak bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing, maka situasi ini disebut dengan buntu runding atau deadlock, dan harus secara tersurat disebutkan dalam kesimpulan bahwa perundingan bipartit berakhir dengan buntu runding/ deadlock.
Contoh:
Sehubungan
tidak ada lagi kemungkinan untuk bersepakat, maka perundingan bipartit ini
dinyatakan buntu runding (deadlock).
Akibat dari perundingan bipartit yang buntu runding adalah:
2. Perusahaan dapat melakukan lock out (penutupan) perusahaan sebagai akibat dari perundingan bipartit yang buntu runding, namun harus tetap membuat surat pemberitahuan dilakukannya lock out kepada pihak yang berwenang di bidang ketenagakerjaan, 4 hari sebelum lock out dilaksanakan.
Lock out tidak bisa dilaksanakan sebagai tindakan balas dendam atas keinginan mogok kerja yang dilakukan oleh pihak serikat pekerja.
3. Masing-masing
pihak, baik sendiri maupun bersama-sama, dapat melanjutkan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial ini ke dinas tenaga kerja terkait untuk
diproses penyelesaiannya melalui proses mediasi, arbitrasi, maupun konsiliasi,
tergantung dari jenis perselisihan hubungan industrial yang terjadi, apakah
perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, atau perselisihan
antar serikat pekerja/ buruh.
Tanda tangan dan nama terang dari masing-masing orang yang hadir.
Pada bagian akhir sebuah risalah perundingan, harus dibubuhi dengan tanda tangan dan nama terang dari masing-masing orang mewakili para pihak yang hadir dalam perundingan bipartit.
Hindari hanya mewakilkan tandatangan
hanya pada 1 (satu) orang saja dari masing-masing pihak (biasanya ketua umum
dari pihak serikat dan direksi dari pihak perusahaan) agar risalah perundingan
tersebut dapat “merekam” kejadian sebenarnya, dan juga dapat menunjukkan
tentang berapa orang yang hadir dan siapa saja yang menhadiri perundingan
bipartit tersebut.
Beberapa hal yang sering kali menjadi pertanyaan umum, antara lain sebagai berikut:
§ Siapa yang membuat Risalah Perundingan?
Pihak yang membuat risalah
perundingan adalah orang-orang yang hadir mewakili para pihak, yaitu pihak
pengusaha dan pihak serikat pekerja. Biasanya adalah pihak serikat pekerja yang
mewakili anggotanya dan pihak pengusaha, yang biasanya diwakili oleh pihak
manajemen yang menjalankan perusahaan tersebut.
Para pihak yang berunding sebaiknya
adalah para pihak yang dapat mengambil keputusan, oleh karena itu biasanya,
para pihak yang hadir setidaknya mendapatkan surat kuasa, pihak serikat pekerja
mendapatkan surat kuasa dari seluruh anggotanya, sedangkan pihak manajemen atau
pihak perusahaan harus mendapatkan surat kuasa dari pimpinan perusahaan yaitu direktur
utama atau salah satu direksi di perusahaan tersebut.
Ketiadaan surat kuasa serta yang
hadir bukan salah satu dari direksi perusahaan akan menimbulkan permasalahan
dikemudian hari, dimana risalah perundingan bipartit tersebut akan dianggap
tidak sah, karena pihak yang hadir tidak mempunyai kewenangan mewakili
perusahaan.
Demikian juga dengan ketiadaan surat
kuasa dari anggota serikat kepada tim perunding serikat pekerja, akan
mengakibatkan tim perunding serikat pekerja dianggap mewakili dirinya sendiri,
dan tidak bisa dianggap mewakili seluruh anggota serikat. Hal ini akan
merugikan pekerja ketika risalah perundingan berakhir dengan kesepakatan dan
dilanjutkan dengan pembuatan perjanjian bersama yang didaftarkan ke pengadilan
hubungan industrial untuk ditetapkan sebagai sebuah hukum yang mengikat bagi
kedua belah pihak.
§ Kapan risalah perundingan bipartit dibuat?
Risalah perundingan bipartit dibuat
pada saat perundingan bipartit dilaksanakan, sehingga ketika perundingan
bipartit selesai dilaksanakan, maka sebelum para pihak yang hadir dalam
perundingan bipartit tersebut meninggalkan tempat perundingan, maka setiap orang
yang hadir mewakili para pihak, harus sudah membubuhkan tandatangannya di
Risalah perundingan tersebut.
Risalah perundingan bipartit yang
dibuat setelah masing-masing pihak meninggalkan tempat perundingan, dan
pembuatannya diserahkan kepada salah satu pihak yang berunding akan berpotensi
memunculkan permasalahan baru.
Permasalahan baru tersebut antara
lain adalah, salah satu pihak menolak untuk menandatangani risalah perundingan
bipartit tersebut karena isinya tidak sesuai dengan yang diharapkan, atau
sengaja menolak karena yang disepakati ternyata merugikan pihaknya.
Oleh karena itu, menjadi penting
untuk membuat risalah perundingan dan menandatanganinya pada saat itu juga,
yaitu pada saat sebelum meninggalkan perundingan bipartit.
§ Siapa yang Menandatangani Risalah Perundingan Bipartit?
Pada saat dilakukannya perundingan
bipartit, sering kali yang menandatangani perundingan bipartit tersebut hanya
perwakilan dari masing-masing pihak saja, meskipun pada saat perundingan,
masing-masing pihak dihadiri oleh lebih dari satu orang.
Menurut pendapat penulis, sebaiknya
risalah perundingan bipartit ditandatangani oleh seluruh orang yang hadir yang
mewakili masing-masing pihak. Jadi misalnya masing-masing pihak yang hadir 5
orang, maka dalam risalah perundingan tersebut terdapat 10 orang yang
menandatangani risalah perundingan bipartit tersebut.
§ Apakah Risalah Perundingan Bipartit dapat dibuat setelah perundingan selesai?
Risalah perundingan harus dibuat dan
ditandatangani pada saat itu juga dimana perundingan bipartit berlangsung, ini
artinya bahwa risalah perundingan bipartit tidak boleh dibuat dan
ditandatangani di luar meja perundingan bipartit, agar tidak ada
kesalahpahaman, dan juga menjaga agar tidak terjadi tindakan yang dianggap
curang, seperti misalnya, mengurangi, menghilangkan, atau bahkan menambahkan
kata atau kalimat yang tidak pernah disepakati sebelumnya dalam perundingan
bipartit yang dilaksanakan.
Beda Risalah Perundingan Bipartit dengan Notulensi.
Istilah notulensi, mungkin tidak bisa kita dapatkan dalam
Kamus Besar bahasa Indonesia, kita hanya akan mendapatkan kata “notula” yang
artinya catatan singkat mengenai jalannya persidangan (rapat) serta hal yang
dibicarakan dan diputuskan.
Meskipun hampir sama dengan risalah perundingan, pada dasarnya
notulensi adalah catatan mengenai jalannya rapat, siapa saja yang hadir dalam
rapat, siapa menyampaikan apa, semuanya dicatat sesuai dengan kronologi
jalannya rapat, sampai pada keputusan rapat.
Meskipun lebih lengkap, notulensi tidak bisa disamakan dengan
risalah perundingan, karena notulensi tidak ditandatangani oleh kedua belah
pihak, dan tidak mencerminkan pendapat akhir dari para pihak, kecuali pada
bagian keputusan rapat, dan biasanya notulensi sifatnya lebih informal, sebagai
pengingat tentang jalannya rapat.
Namun demikian, tidak ada salahnya dalam sebuah perundingan bipartit, dibuat pula notulensinya, disamping dibuat risalah perundingan bipartit yang sifatnya formal, karena ditandatangani oleh kedua belah pihak, dan mencerminkan pendapat dari masing-masing pihak dan juga adanya keputusan perundingan bipartit yaitu dalam bentuk kesimpulan.
Hal-hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam membuat
risalah perundingan bipartit adalah sebagai berikut:
1. Sebaiknya risalah perundingan bipartit dibuat asli rangkap 2 (dua) dan masing-masing pihak mendapatkan risalah perundingan bipartit tersebut.
2. Setiap lembar dari risalah perundingan bipartit yang dibuat, diberi paraf dibagian pinggir halaman kertas (biasanya di sisi sebelah kanan, bagian atas, dan bagian bawah dari kertas risalah perundingan bipartit) oleh masing-masing orang yang hadir dalam perundingan bipartit tersebut.
3. Risalah perundingan sesegera mungkin dapat ditempel di papan pengumuman Pekerja agar dapat diketahui oleh seluruh pekerja, untuk menjaga transparansi informasi dari sebuah perundingan bipartit.
Risalah perundingan bipartit yang dibuat dengan baik dan
benar, akan membantu penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
terjadi, dan secara adminstrasi, dapat digunakan dalam hal pembuktian di
kemudian hari, apabila kedua belah pihak tidak menemukan kata sepakat.
________________________