Postingan

"Ketika Upah Minimum Ditentukan Oleh Rumus"; Refleksi Penetapan Upah Minimum Provinsi Tahun 2024.

 


Oleh : Galih Tri Panjalu  |  Sekretaris Umum FSPM

Pada tanggal 21 November 2023, hampir seluruh pemerintah provinsi di Indonesia mengeluarkan nilai nominal dari upah minimum provinsi (UMP). Sebagian besar buruh mengaku kecewa dengan kenaikan UMP yang sangat kecil, UMP yang jauh dari tuntutan buruh yaitu rata-rata sebesar 15%, antara harapan dan kenyataan, dapat diwakili dengan kata pepatah, “Jauh panggang dari api”, tidak sesuai dengan yang diinginkan.

Meskipun nasi sudah menjadi bubur, ada baiknya kita melihat permasalahan ini dengan melakukan analisa tentang pengupahan, khususnya tentang upah minimum, yang sekarang ini menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan, yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pada tanggal 10 November 2023.

Entah kebetulan atau tidak, namun terbitnya PP No. 51 tahun 2023 pada tanggal 10 November 2023, yang mengatur tentang pengupahan, bahkan merubah total rumus upah minimum yang diatur dalam PP No. 36 tahun 2021, tentu saja menjadi pertanyaan besar.

Di sisi lain, buruh tidak siap dengan adanya peraturan baru ini (PP No,51/2023), sehingga kemudian tuntutan sebesar 15% menjadi tuntutan yang tidak masuk akal apabila dihubungkan dengan dasar hukum yang digunakan oleh seluruh pemerintah daerah di setiap provinsi.

Namun apakah tuntutan buruh sebesar 15% adalah tuntutan yang tidak masuk akal? Tentu saja tuntutan buruh sangat masuk akal, karena yang digunakan adalah logika dan fakta yang terjadi di lapangan atau di kehidupan sehari-hari, dimana upah yang sekarang ini, tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, kecuali para buruh ini kemudian harus mengencangkan ikat pinggangnya agar dapur tetap ngebul, atau solusinya dengan mempunyai pekerjaan lain/ sampingan diluar pekerjaan utamanya.

Meskipun tulisan ini tidak menganalisa seluruh UMP yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah provinsi di masing-masing daerah, namun setidaknya memberikan gambaran tentang sistem pengupahan yang sekarang diterapkan oleh pemerintah pusat melalui PP No. 51/2023.

Mengenai penerapan PP No.51/2023,  ada sementara pihak menyatakan bahwa PP No. 51/2023 memberikan jaminan kenaikan upah minimum setiap tahunnya, namun apabila kita lihat isi dari PP No.51/2023 sebenarnya tidak memberikan jaminan bahwa UMP akan mengalami kenaikan setiap tahunnya, hal ini dapat diketahui dari pasal 26 ayat (9) PP No.51/2023 yang menyatakan bahwa apabila nilai penyesuaian upah minimum lebih kecil atau sama dengan 0 (nol), maka upah minimum yang akan ditetapkan sama dengan upah minimum tahun berjalan. Artinya, bisa saja terjadi di tahun-tahun mendatang, ketika kemudian nilai penyesuaian upah minimum terjadi lebih kecil atau sama dengan 0 (nol), maka dapat dipastikan tidak akan ada kenaikan upah minimum. Hal ini untuk membantah pernyataan bahwa PP No. 51/2023 menjamin kenaikan UMP setiap tahunnya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, diketahui bahwa provinsi yang  upah minimum provinsinya untuk  tahun 2024 lebih dari 5% adalah sebagai berikut :

1. Daerah Istimewa Yogyakarta naik sebesar 7,27%;

2. Jawa Timur naik sebesar 6,13%;

3. Sulawesi Tengah naik sebesar 5,28%;

4. Maluku Utara naik sebesar 7,5%.

 

Selebihnya (34 provinsi lainnya), kenaikan persentase UMP ada di kisaran 1% sampai dengan kurang dari 5% saja.

Beberapa contoh UMP tahun 2024,  khususnya untuk Jawa dan Bali yang sudah dikeluarkan adalah sebagai berikut:

NO

 PROVINSI

UMP 2023

INFLASI

 PERT EKONOMI

α

 KENAIKAN

 UMP 2024

 KENAIKAN (%)

   1

 DKI JAKARTA

  4.901.798

1,89%

4,95%

0,30

    165.583

    5.067.381

3,38%

   2

 JAWA BARAT

  1.986.670

2,35%

4,86%

0,25

       70.825

    2.057.495

3,57%

  3

 BANTEN

  2.661.280

2,04%

4,60%

0,10

       66.532

    2.727.812

2,50%

  4

 JAWA TENGAH

  1.958.169

2,49%

5,11%

0,30

       78.778

    2.036.946

4,02%

  5

 DIY

  1.981.782

5,70%

5,24%

0,30

    144.115

    2.125.897

7,27%

  6

 JAWA TIMUR

  2.040.244

3,01%

4,96%

?

    125.000

    2.165.244

6,13%

  7

 BALI

  2.713.672

2,44%

5,93%

0,21

    100.000

    2.813.672

3,68%

 

Dari data di atas, kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa setidaknya dari 7 provinsi yang ada di pulau Jawa dan Bali, selisih terbesarnya adalah di Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp. 165.583,-, namun hal ini bukan dikarenakan oleh kenaikan persentase yang lebih tinggi dari presentase provinsi lain, namun lebih dikarenakan upah pada tahun berjalan (2023) yang sudah lebih tinggi, sehingga menghasilkan nilai nominal yang tinggi, meskipun kenaikan persentasenya hanya 3,38%, presentase kenaikan terkecil kedua setelah Provinsi Banten.

Lain halnya dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, adalah salah satu provinsi yang kenaikan presentasenya paling tinggi di pulau Jawa dan Bali, yaitu 7,27%, bahkan tertinggi kedua setelah Provinsi Maluku Utara diantara provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Namun demikian, dikarenakan upah pada tahun berjalan (2023) hanya sebesar Rp. 1.981.782,- maka kenaikannya hanya menjadi sebesar Rp. 144.115,-. Menarik untuk disimak bersama, ternyata kenaikan persentase upah sebesar 7,27% juga dikarenakan adanya kesepakatan di dewan pengupahan tentang laju inflasi yang sudah dirasionalisasi dari 3,31% menjadi 5,7%, yang artinya, nilai inflasinya lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi.

Penentuan UMP di Provinsi Jawa Timur juga cukup menarik untuk disimak bersama, dengan angka inflasi sebesar 3,01% dan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,96%, maka kenaikan upah minimum menjadi sebesar Rp. 125.000,- , namun nominal ini hanya dapat dihasilkan apabila nilai indeks tertentu atau α nilainya adalah sebesar 0,63 yang tentu saja nilai ini tidak mungkin terjadi, karena nilai α seharusnya ada di angka 0,10 sampai 0,30 saja.  Dari berbagi informasi yang dihimpun, diketahui adanya pertimbangan lain yang dijadikan faktor untuk menghitung UMP di Jawa Timur, tidak hanya, inflasi, laju pertumbuhan ekonomi dan indeks tertentu, namun juga mempertimbangkan faktor lain yaitu rata-rata pengeluaran per kapita sebulan menurut provinsi sebesar Rp 1.323.486. Selain itu, pemerintah Jawa Timur juga melihat rata-rata banyaknya anggota rumah tangga menurut provinsi sebesar 3,53 hingga rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja menurut provinsi sebesar 1,66. 

Bahwa penyesuaian upah minimum provinsi yang menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2023 yang baru saja disahkan pada tanggal 10 November 2023, hasilnya tidak akan pernah secara siginifikan.

Mengapa ini bisa terjadi? Hal ini dikarenakan adanya rumus atau formula yang dibuat yang ada didalam PP No.51 tahun 2023, tidak akan pernah membuat buruh di Indonesia menjadi sejahtera, karena sudah dibuat sedemikian rupa sehingga upah para buruh kenaikannya hanya akan berkisar 1%  sampai dengan kurang dari 5% saja.

Rumus atau formula yang tercantum di PP No. 51 tahun 2023, yang ditetapkan pada tanggal 10 November 2023 adalah sebagai berikut:

 

UM (t+1) = UM (t) + (Inflasi + (Pertumbuhan Ekonomi x α)) x UM (t).

Dimana :

UM (t+1)   : upah minimum tahun berikutnya,

UM (t) : upah minimum tahun berjalan,

α (alpha) : indeks tertentu dengan nilai yang ditentukan antara 0,1 sampai dengan 0,3.

 

Rumus atau formula di atas, tentu saja sangat berbeda dengan penentuan komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang dilakukan dengan melakukan survey kebutuhan hidup layak sehingga dapat ditentukan kebutuhan hidup layak secara riil.

Ketika pertumbuhan ekonomi dikali dengan α yang nilai maksimumnya hanya 0,3, maka hasilnya pasti  akan lebih rendah dari nilai pertumbuhan ekonomi, atau hanya akan sebesar 0,3 dari pertumbuhan ekonomi, terlebih ketika hasil perkalian dari pertumbuhan ekonomi dengan α, kemudian dikalikan dengan upah minimum pada tahun berjalan, dan kemudian hasilnya ditambahkan dengan nilai inflasi, maka hasilnya apabila dibuat secara presentase, hanya akan ada dikisaran 1%  sampai dengan kurang dari 5% saja.

Dalam hal penerapan upah minimum,  sudah menjadi rahasia umum, bahwa upah minimum akan menjadi upah maksimum, meskipun pemerintah menyatakan bahwa upah minimum adalah upah yang diperuntukkan bagi buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, namun demikian, dalam prakteknya buruh dengan masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun masih tetap menerima upah minimum seperti buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.

Kalaupun kemudian misalnya upah buruh dengan masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun, nominal upahnya lebih besar dari UMP atau UMK, namun tidak ada kejelasan tentang berapa besaran nilai upah bagi buruh yang bekerja lebih dari 1 (satu) tahun.

Belum lagi dengan adanya pengusaha-pengusaha nakal, yang membayar upah buruhnya dibawah upah minimum, dengan berbagai alasan, baik misalnya karena alasan perusahaannya adalah perusahaan dengan kategori UMKM, omzet sedang menurun, dll.

Pada dasarnya, struktur dan skala upah yang sudah diatur oleh negara, mengatur tentang upah yang mempertimbangkan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi, nyatanya dalam praktek sehari-hari, tidak dapat diterapkan, bukan hanya mengalami degradasi kewenangan dalam menentukan struktur dan skala upah yang sebelumnya harus dirundingkan antara buruh atau serikat buruh dengan pihak pengusaha, namun sekarang ini, penyusunan dan penentuan struktur dan skala upah hanya ditentukan oleh pihak pengusaha saja.

Selain itu, pemerintah juga seperti mengebiri dirinya sendiri, dimana aturannya menyatakan bahwa struktur dan skala upah hanya ditunjukkan kepada pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan, baik di tingkat kementrian, provinsi, maupun di tingkat kabupaten/ kota, pada saat mendaftarkan Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja bersama (PKB) ke Dinas Tenaga Kerja setempat, bahkan diatur dengan sangat rinci, dimana kalimatnya adalah, memperlihatkan Struktur dan Skala Upah kepada pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan, dan setelah diperlihatkan, maka pejabat yang berwenang tersebut harus segera mengembalikan dokumen struktur dan skala upah tersebut saat itu juga kepada pihak perusahaan.

Tentu saja aturan ini sangat aneh, disamping belum tentu pihak pengusaha menerapkan struktur dan skala upah di tempat kerja, namun juga pihak Dinas Tenaga Kerja setempat tidak mempunyai cukup waktu untuk menilai bahwa struktur dan skala upah yang dibuat oleh pengusaha, sudah sesuai atau tidak dengan aturan pembuatan struktur dan skala upah, namun juga dapat diartikan bahwa struktur dan skala upah hanya dilaksanakan dengan setengah hati oleh pihak pemerintah.

Demikian pula penerapan struktur dan skala upah di tempat kerja, meskipun struktur dan skala upah wajib diberitahukan kepada buruh, namun harus dengan syarat bahwa pemberitahuannya dilakukan secara perorangan dan sekurang-kurangnya diberitahukan struktur dan skala upah pada golongan jabatan buruh yang bersangkutan. Artinya, setiap buruh tidak akan pernah melihat struktur dan skala upah secara keseluruhan dan hanya akan melihat struktur dan skala upah dari golongan jabatan si buruh itu sendiri, dan tidak bisa melihat struktur dan skala upah dari golongan jabatan dari buruh lain. Aturan ini tentu saja secara tersirat menunjukkan bahwa struktur dan skala upah tidak dilaksanakan secara transparan dan pemahaman yang salah tentang upah yang merupakan rahasia perusahaan akan terus berlanjut.

Carut marut pengupahan dapat terjadi karena banyak faktor, diantaranya karena buruh yang tidak berani mempertanyakan kepada pengusaha tentang upah bagi buruh yang masa kerjanya di atas 1 (satu) tahun, adanya pengusaha yang nakal yang memanfaatkan relasi kuasa dengan tidak mau membayar upah lebih kepada buruh yang sudah bekerja dengan masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun, serta aturan pemerintah yang tidak jelas yang menyerahkan kepada pengusaha dan buruh untuk menentukan upah buruh dengan masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun, serta kondisi ekonomi sekarang ini dimana di bulan Agustus 2023, tingkat pengangguran terbuka berdasarkan Biro Pusat Statistik yang mencapai persentase sebesar 5,32% atau sebanyak 7,86 juta orang pengangguran. Meskipun memang harus diteliti lebih lanjut, apakah ada hubungan positif antara tingkat upah minimum dengan tingkat pengangguran dari waktu ke waktu?

Selain itu, upah minimum juga pada dasarnya mencerminkan upah bagi buruh lajang saja, tidak mencerminkan upah bagi buruh dengan status menikah dan mempunyai anak. Biar bagaimanapun, kebutuhan hidup riil bagi buruh yang mempunyai istri dan anak, kebutuhan hidupnya dapat dipastikan melebihi kebutuhan hidup buruh dengan status lajang.

Pada dasarnya, buruh masih bisa berharap dari kenaikan Upah Minimum Kabupaten/ Kotamadya (UMK), yang akan diumumkan oleh setiap pemerintah provinsi pada tanggal 30 November 2023, namun dikarenakan sudah dikunci dengan rumus yang ada di PP No. 51 tahun 2023, maka sudah bisa dipastikan, kenaikan upah minimum kabupaten/ kotamadya, tidak akan jauh dari kenaikan presentase yang diterapkan pada kenaikan UMP, karena rumus yang digunakan masih sama, hanya saja yang membedakan adalah nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dimana nilainya diambil dari nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi dari masing-masing kabupaten/ kota. Apabila kemudian ketika rumus diterapkan, hasilnya dibawah UMP, maka nilai UMP yang akan diterapkan di kabupaten/ kota tersebut, dan apabila ternyata hasilnya lebih tinggi dari nominal UMP, maka UMK dapat diterapkan di kabupaten/ kota tersebut.

 

Lantas bagaimana sebaiknya pengupahan dapat diterapkan dengan lebih baik?

Pada dasarnya, apabila penegakan hukum (law enforcement) dapat berjalan dengan baik, yang tentu saja tidak hanya tentang penindakan pengusaha yang nakal dalam menerapkan pengupahan bagi para buruhnya, namun juga penerapan aturan kerja yang sesuai dengan aturan, misalnya, hanya buruh dengan masa kerja dibawah 1 (satu) tahun yang mendapatkan Upah minimum, sedangkan buruh yang mempunyai masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun mendapatkan upah diatas UMP dengan perhitungan yang jelas, maka setidaknya sistem pengupahan dapat diterapkan dengan lebih baik bari para buruh.

 

 

Apabila kita bicara tentang penegakan hukum, maka yang berkontribusi terhadap rendahnya tingkat penegakan hukum adalah kurangnya kapasitas pemerintah, serta kurangnya kemauan politik (political will) untuk menegakkan peraturan yang meningkatkan biaya dunia usaha. Secara umum, rendahnya penegakan hukum pada dasarnya berkontribusi kepada meningkatnya kefrustasian para buruh dan para pengusaha.

Selain itu, penerapan aturan tentang struktur dan skala upah yang benar-benar mempertimbangkan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi, sehingga terdapat perbedaan jelas untuk masing-masing faktor tersebut. Artinya, upah bagi buruh yang mempunyai tingkat pendidikan yang berbeda-beda, akan berbeda-beda juga upahnya, termasuk juga perbedaan masa kerja, juga akan mempengaruhi tingkat upah dari buruh, jika ini dapat dilaksanakan, maka setidaknya para buruh dapat lebih meningkat kesejahteraannya.

Terakhir, penentuan upah minimum sebaiknya dikembalikan kepada survey pasar yang dilakukan secara berkala dalam 1 tahun, dengan menghitung biaya yang timbul dari komponen kebutuhan hidup layak (KHL), sehingga betul-betul memotret rata-rata kebutuhan hidup sehari-hari dalam 1 tahun, yang akan memberikan penilaian yang obyektif dalam menentukan upah minimum setiap tahunnya.

Upah minimum tidak bisa disederhanakan melalui solusi dengan cara menentukannya melalui rumus, apalagi rumus tersebut memang dibuat agar hasilnya tidak akan pernah membuat buruh meningkat taraf hidupnya, meningkat kesejahteraan buruh dan keluarganya.

Posting Komentar

© 2013 - 2021 Federasi Serikat Pekerja Mandiri. Developed by Jago Desain