Jaminan Pasca Hubungan Kerja (Mencari Solusi atas kisruh JHT hanya bisa diambil setelah usia 56 tahun)




Oleh : Iman Sukmanajaya | Divisi Pendidikan FSPM


Indonesia sudah mengenal Jaminan Sosial sejak tahun 1977, setidaknya sudah ada Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan Jaminan Hari Tua (dahulu disebut sebagai Tabungan Hari Tua) sejak saat itu. Ketiganya dahulu disebut sebagai Asuransi Tenaga Kerja atau lebih sering disebut ASTEK.

Premi Tabungan Hari Tua sebesar 5,7% dari Upah, yang mana 3,7% dibayarkan oleh Pengusaha, 2% lainnya dibayarkan oleh Pekerja/Buruh.

Premi Jaminan Kematian sebesar 0,3% dari Upah, yang sepenuhnya dibayar oleh Pengusaha.

Demikian juga dengan Premi Jaminan Kecelakaan Kerja, yang menjadi satu-satunya Jaminan yang bisa berbeda preminya, karena tergantung Tingkat Resiko sesuai jenis usaha Perusahaan masing-masing (mulai dari 0,24% sampai dengan 1,74%)

Mulai tahun 1993an nama ASTEK berubah seiring perubahan badan pelaksanaannya, dan menjadi Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, yang komposisinya masih Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan Jaminan Hari Tua (sudah berubah dari yang sebelumnya disebut Tabungan Hari Tua).

Selain ASTEK atau Jamsostek, masih ada Jaminan Kesehatan, yang awalnya disebut sebagai ASKES lalu berubah menjadi JAMKES, yang keduanya hanya wajib jika perusahaan tidak menyediakan Jaminan Kesehatan.

Perusahaan bisa "lolos" dari kewajiban mengikutsertakan para pekerja dari program ASKES/JAMKES ini, jika telah menyediakan Jaminan Kesehatan yang lebih baik dari apa yang diberikan oleh ASKES atau JAMKES.

Seiring dengan diundangkannya UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang realisasinya lebih berwujud dengan jelas lewat UU No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang kemudian "merubah" Badan Jamsostek yang tadinya berbasis Perseroan Terbatas (PT) menjadi sebuah Jaminan Sosial oleh Negara lewat Badan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, yang kali ini kepesertaan BPJS Kesehatan nya menjadi wajib (salah satunya) bagi seluruh perusahaan swasta.

Banyak Perusahaan yang Tiba-tiba "menghilangkan" Asuransi Kesehatan Swasta, yang sebelumnya menjadi benefit bagi para pekerjanya, karena dianggap beban ganda untuk benefit yang sama.

Ada juga yang mengkombinasikannya dengan Asuransi Kesehatan Swasta lewat program "Koordinasi Manfaat".

Tapi tidak sedikit juga perusahaan yang tetap memberikan benefit Asuransi Kesehatan Swasta selain BPJS Kesehatan, tentu saja yang terakhir kita bicarakan ini, Perusahaan dengan "kelas Komitmen" akan Jaminan Kesehatan yang berbeda, jika dibandingkan dengan Perusahaan lainnya, yang sudah merasa cukup lewat "koordinasi manfaat" atau bahkan "hanya" BPJS Kesehatan saja.

Kembali ke BPJS sebagai Badan Pelaksana, seiring dirubahnya Jamsostek yang tadinya merupakan Perusahaan (PT) menjadi BPJS, maka sejak tahun 2013 diluncurkanlah BPJS Kesehatan yang ditandai dengan dikeluarkannya Per.Pres No.111 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Jaminan Kesehatan.

Sejak saat itu Perusahaan dan Pekerja/Buruh punya kewajiban tambahan Iuran baru selain Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan Jaminan Hari Tua, yaitu Iuran BPJS Kesehatan dimana Perusahaan dikenakan premi sebesar 4% dari Upah Pekerja, dan Pekerja/Buruh dikenakan 1% dari Upahnya sebagai premi BPJS Kesehatan (awalnya Pekerja/Buruh hanya dikenakan 0,5%).

Seiring waktu, produk BPJS ini pun "bertambah" dengan adanya Jaminan Pensiun, yang ditandai dengan hadirnya PP No.45 Tahun 2015 tentang Jaminan Pensiun.

Maka, sejak tahun 2013 sudah ada Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Kesehatan, dan Jaminan Hari Tua,

lalu pada tahun 2015 ditambah lagi Jaminan Pensiun, dimana Pengusaha dikenakan Premi 2% dari setiap upah Pekerja/Buruhnya, lalu para pekerja/buruh dikenakan 1% dari upahnya sebagai premi Jaminan Pensiun.

Keributan Hari ini.

Keributan hari ini menjadi masalah, karena selama ini JHT sudah terbiasa bisa dicairkan manakala terjadi pengunduran diri atau terkena PHK.

Meski UU 40 Tahun 2004 tentang SJSN mengatur bahwa (sebenarnya) JHT memang (seharusnya) baru bisa dicairkan pada saat pekerja telah memasuki masa pensiun, akan tetapi karena pada tataran implementasi ada juga aturan yang "membolehkannya" untuk dicairkan ketika terjadi Pengunduran Diri dan/atau Pekerja/Buruh terkena PHK.

Maka ketika ada upaya mengembalikan JHT pada "khittahnya", terjadilah penolakan besar-besaran dari kalangan pekerja/buruh dan Serikat, meski ada juga Serikat yang menyetujuinya dengan alasan "sesuai UU", seperti dikemukakan diatas sebelumnya.

Ini bukan cuma soal kapan JHT seharusnya dicairkan.

Persoalan-persoalan yang ramai belakangan ini (menurut saya) seharusnya tidak dimaknai sempit, hanya kepada urusan kapan seharusnya JHT bisa dicairkan, melainkan ke sebuah pertanyaan yang lebih fundamental lagi bagi pekerja/buruh, apalagi Serikat,

yaitu bagaimana sebenarnya Konsep Kita soal "Jaminan Pasca Hubungan Kerja".

Berbicara Pasca Hubungan Kerja, sebenarnya sudah ada mekanisme PSAK-24, yang sayangnya pada pelaksanaannya minim pengawasan dan absen dari Sanksi, manakala perusahaan tidak melaksanakannya (setidaknya itu pengamatan pribadi saya yang mungkin masih kurang pengetahuan).

PSAK-24 itu sendiri adalah Pernyataan Sistem Akuntansi Keuangan No.24, yang pada intinya berisikan Pernyataan bahwa Perusahaan akan mengalokasikan sejumlah dana diluar kas dan keuangan perusahaan, yang diperuntukkan khusus bagi Pekerja/Buruh pasca hubungan kerja (pensiun, meninggal dunia, PHK, pengunduran diri dll).

Kembali ke Persoalan BPJS dan berbagai "produknya", saya kira perlu ada sebuah rumusan, yang bisa menempatkan kewajiban pasca hubungan kerja pada tempatnya, dibanding saat ini yang masih tercecer diberbagai kebijakan yang nampaknya mulai terlihat menjadi tumpang tindih bahkan nampak tambal sulam;

ada perdebatan tanpa akhir, yang penyebabnya karena kita gagal memahami dan memaknai konsep "Severance Pay" (Pesangon) dan "Pension Plan" atau Dana Pensiun,

ada JHT yang mau dibuat baru bisa diambil setelah usia 56,

ada Jaminan pensiun yang pada tahun 2022 saja, baru bisa diambil ketika (mantan) pekerja/Buruh sudah berusia 58 tahun,

ada pesangon dan pensiun yang masih harus tetap dibayarkan oleh pengusaha meski telah meng-iur "aneka BPJS" yang jumlahnya tak kurang dari 10,54% untuk Sektor Hotel dan Restoran (diluar Tabungan Perumahan Rakyat),

ada PSAK-24, yang bahkan tidak semua dari kita, paham betul itu soal apa?

Saya kira, kita perlu duduk bersama, dan membicarakan secara terbuka,

mau kemana kita sebenarnya soal (Jaminan) Pasca Hubungan Kerja,

yang mana bisa saja karena Pengunduran Diri, terkena PHK, Meninggal Dunia, Pensiun, Cacat Tetap/Sakit Berkepanjangan yang diikuti PHK?

Tepatkah, jika kita terus membiarkan ketidakjelasan berbagai arah produk Jaminan Sosial yang masih tercecer dimana-mana?.

Mengutip potongan lirik dari sebuah lagu...

"Mau dibawa kemana hubungan kita,
Jika kau terus menunda nunda
Dan tak pernah nyatakan cinta

Mau dibawa kemana hubungan kita
Ku tak akan terus jalani
Tanpa ada ikatan pasti
antara kau dan aku..." 



Posting Komentar

© 2013 - 2021 Federasi Serikat Pekerja Mandiri. Developed by Jago Desain