Menggunakan "Force Majeure" sebagai alasan Pengusaha untuk menolak bertanggung Jawab dalam Pandemi Covid-19


Oleh: Dr. Hidayat Greenfield, Sekretaris Regional IUF Asia Pasifik.

Dalam pandemi Covid-19 pengusaha tidak boleh melakukan PHK terhadap para pekerjanya dan harus tetap membayarkan upah meskipun kegiatan usahanya tutup sementara. Ini adalah bagian penting dari respon kebijakan pemerintah di negara-negara di wilayah Asia pasifik. Pengusaha juga harus terlibat dengan Serikat Pekerja untuk menanggapi bersama Covid-19 dengan memastikan  pekerjaan yang aman dan perlindungan atas pekerjaan dan upah selama penutupan sementara. Pemerintah juga harus menyediakan dukungan pendapatan.

Di beberapa negara di wilayah Asia Pasifik, para pengusaha  di industri perhotelan dan pariwisata mencoba menunjuk krisis Covid-19 sebagai "force majeure" untuk melakukan PHK tanpa proses hukum dan tanpa memenuhi kewajiban mereka.

Arti Force Majeur sendiri adalah sebuah kondisi keterdesakan yang amat sangat, yang merujuk kepada keadaan diluar kendali dari pemerintah, perusahaan, atau orang atau institusi yang berbadan hukum. Seperti misalnya termasuk didalamnya adalah perang, kerusuhan atau gelombang kriminalitas dalam skala besar, atau sebuah peristiwa yang dijelaskan oleh istilah hukum sebagai "Kehendak Tuhan" (badai, banjir, gempa bumi, gunung meletus, dsb). Sebuah peristiwa yang disebut sebagai "force majeure" berarti pemerintah, perusahaan atau orang atau Institusi  berada dalam posisi tidak mampu memenuhi kewajibannya dan terbebas dari kewajiban atau tanggung jawabnya.  Dalam banyak kasus, klausula dalam hukum atau perjanjiannya hanya menunda kewajiban dari para pihak selama keadaan force majeure itu berlangsung.

Di banyak negara, syarat hukum untuk sebuah keadaan force majeure sangatlah ketat. Tidak hanya harus perusahaan, individu atau institusi yang harus membuktikan bahwa sebuah keadaan diluar kemampuan kendali mereka, tapi mereka juga harus dapat membuktikan bahwa peristiwa itu adalah sebuah kondisi yang tidak bisa diantisipasi.  Hal ini juga harus dibuktikan bahwa situasi tersebut secara jelas menghambat mereka untuk memenuhi kewajiban, dan karenanya tidak boleh ada itikad buruk  dalam melakukannya.

Beberapa pengusaha mencoba menggunakan pandemik Covid-19 sebagai situasi "Force majeure" untuk memutuskan hubungan kerja dan membebaskan mereka dari tanggung jawab sebagai Pengusaha. Bagaimanapun juga, ada banyak alasan mengapa "Force majeure" tidak dapat, dan seharusnya tidak boleh digunakan dalam situasi ini.

Penyebaran Covid-19 yang disebabkan oleh virus SARS-Cov-2 bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah, tapi sebagai hasil dari tindakan manusia (atau bukan tindakan), dan merupakan sebuah kegagalan dari para pemerintah dan institusi di tingkat lokal, nasional dan internasional untuk mencegah penyebaran penyakit ini menjadi pandemi. Hal ini menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 bukanlah sebuah peristiwa atau fenomena alamiah, dan bukan merupakan sesuatu yang dapat dimasukan dalam terminologi hukum sebagai “kehendak Tuhan”. [Ini adalah  merupakan sebuah pandangan dari segi hukum, bukan keyakinan keagamaan].

Kebanyakan hukum publik dan hukum perdata (sipil) di berbagai negara, tidak memasukan "pandemi" , “epidemi”, atau "penyebaran wabah"  dalam definisi force majeure. Dan yang lebih penting lagi, perjanjian dalam hubungan kerja dan ketenagakerjaan (perjanjian kerja) tidak memasukkan klausula force majeure.  Hanya kebangkrutan yang secara hukum dapat dibuktikan yang diakibatkan oleh Covid-19, yang dapat diterima sebagai penyebab berakhirnya kewajiban Pengusaha. Bagaimanapun juga, keadaan bangkrut mensyaratkan proses pencarian aset perusahaan (likuidasi) untuk memenuhi kewajiban, termasuk didalamnya adalah kewajiban keuangan terhadap pekerja sebagai Kreditur Utama.

Tidak ada satupun pengusaha yang dapat mengklaim bahwa force majeure adalah sebuah kebangkrutan atau sedang menghadapi likuidasi. Properti hotel, sebagai contoh, hanya tutup secara sementara selama pandemi Covid-19, dan akan segera kembali melanjutkan kegiatan usahanya ketika Pandemi Covid-19 berakhir, dan status kedaruratan telah dicabut. Hal ini sangat penting bagi pemilik hotel maupun pengelola hotel yang mengoperasikan hotel secara kelompok bahwa mereka tidak sedang menghadapi kebangkrutan, melainkan hanya sebuah penundaan kegiatan usaha secara sementara.

Memperlakukan pandemi Covid-19 sebagai alasan pembenar untuk melakukan penutupan secara permanen dan melakukan PHK massal, namun sementara itu tetap pempertahankan bisnis untuk dapat dibuka lagi setelah krisis, adalah sebuah tindakan yang dapat dianggap sebagai itikad buruk, dan hal ini meniadakan hak untuk dapat dikaitkan sebagai Force majeure. Lebih lanjut, kelompok usaha atau perusahaan yang melakukan PHK dengan menggunakan alasan Force majeure, seharusnya tidak berhak atas bantuan dari pemerintah atau mendapatkan manfaat atas paket stimulus dari pemerintah.


Posting Komentar

© 2013 - 2021 Federasi Serikat Pekerja Mandiri. Developed by Jago Desain