Memaknai Kebijakan Penghasilan Tidak Kena Pajak dengan bercermin pada Kebijakan Upah Minimum.

Oleh : Iman Sukmanajaya | Divisi Pendidikan FSPM

​Sebagaimana kita ketahui bersama, sejak dikeluarkannya PMK No.101 Tahun 2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, pada prinsipnya angka atau nilai penghasilan tidak kena pajak (PTKP) telah naik dari 36 juta menjadi 54 juta per tahun atau 4,5 juta per bulan.

​Jika mengacu pada PMK 101/2016 tersebut, maka patut dipahami, bahwa Negara (Pemerintah) jelas menganggap bahwa orang dengan penghasilan kurang dari 4.5 juta per bulan, bukanlah pribadi yang harus dikejar, yang penghasilannya dapat dijadikan objek pajak penghasilan.

​Dengan kata lain, mungkin Pemerintah beranggapan, bahwa angka 4.5 juta adalah penghasilan yang sangat minim untuk pemenuhan kebutuhan hidup, sehingga tidak dirasakan perlu untuk dikenakan pajak lagi.

​PTKP dan Upah Minimum

​Persoalannya, Daerah yang Upah Minimumnya sudah melewati angka PTKP masih sangat jarang sekali, bahkan di beberapa daerah masih jauh lebih banyak, yang upah minimumnya tidak sampai separuh dari nilai PTKP tersebut.

​Tercatat hanya tiga kabupaten atau kota yang memiliki UMK 2022 di atas Rp4,5 juta, yakni Kabupaten Karawang, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi, sementara untuk UMP, hanya di Daerah Khusus Ibukota (DKI) yang sudah melewati 4.5 juta.

​UMK tahun 2022 terbesar adalah di Kota Bekasi, yaitu sebesar Rp 4.816.921,17

​UMK Karawang tahun 2022, yang meski tidak naik dari UMK tahun 2021, masih menempati urutan kedua, yaitu sebesar Rp 4.798.312.

​UMK tahun 2022 Kabupaten Bekasi menempati urutan ketiga, yaitu sebesar Rp 4.791.843,90.

​Sementara untuk UMP, relatif hanya UMP DKI yang telah melewati angka PTKP dengan diterbitkannya Kep.Gub No.1517/2021, yang menetapkan UMP DKI Jakarta Tahun 2022 sebesar Rp 4.641.854, itupun kabarnya masih dalam status digugat oleh asosiasi pengusaha di PTUN.

​Pertanyaannya, jika terhadap mereka yang upah minimumnya sudah sebesar 4.5 juta saja Pemerintah Pusat menganggap tidak patut dipajaki, bagaimana dengan daerah yang upah minimumnya masih kurang dari setengahnya?.

​Apa yang bisa dilakukan oleh Pemerintah, mengingat gap atau jarak antar upah minimum di banyak daerah ini masih sangat terbuka dan jauh dari angka PTKP tersebut?.

​Jika melihat fakta ini, maka dapat dimaknai bahwa ketentuan rata-rata kebijakan Upah Minimum di Indonesia sedemikian jauh jaraknya antara Upah Minimum yang sudah melewati batas "pantas" dikenakan pajak, dengan mereka yang masih jauh dan tidak pantas dikenakan pajak.

​Perlu kita pahami bersama, bahwa Penghasilan memang tidak sama dengan Upah, karena bisa jadi masih ada penghasilan lain diluar kebijakan upah, uang tip atau uang servis pada industri jasa pelayanan di hotel dan restoran misalnya. Tapi ada berapa banyak industri yang seperti ini?.

​Apalagi pajak atas uang servis, yang sebenarnya sudah dibayarkan oleh tamu hotel dan restoran, kerap kali menjadi konflik atau setidaknya menimbulkan pertanyaan dari pihak pekerja, "pajaknya udah dibayar tamu, tapi ketika dibagikan ke pekerja, koq masih kena pajak sih?".

​Disini saya berharap, agar kita bisa bergerak dan mendorong para Kepala Daerah supaya dapat mengejar "ketertinggalannya" atas kebijakan Upah Minimum didaerahnya, khususnya ketertinggalan dari nilai PTKP, yang merupakan nilai yang dianggap pantas dikenakan pajak, mengingat nilai itu sudah berlaku sejak 6 tahun yang lalu (2016).

​Semoga saja percepatan peningkatan nilai upah minimum bisa diakselerasi dengan baik oleh para Kepala Daerah, agar rata-rata Upah Minimum bisa segera mendekati nilai pantas bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia Indonesia, yang sudah dinyatakan sebesar Rp 4.500.000,- sejak tahun 2016 itu.

Posting Komentar

© 2013 - 2021 Federasi Serikat Pekerja Mandiri. Developed by Jago Desain