SIARAN PERS
PHK dengan alasan Force
majeure,
akal-akalan Pengusaha untuk menolak Bertanggung Jawab dalam
Pandemi Covid-19.
Pekerjakan Kembali 34
Pekerja Hotel W Bali Seminyak!
Tanggal 28 September 2020, lebih dari
1 tahun yang lalu, adalah hari yang tidak bisa dilupakan oleh 100 orang pekerja
Hotel W Bali Seminyak. Mereka di PHK dengan alasan force majeure, ketika lebih dari 300 orang lainnya masih tetap
bekerja di Hotel W Bali Seminyak. Pada saat itu tidak ada tamu yang menginap
sebagai dampak dari pandemi covid-19, dimana sebelumnya, hotel W Bali Seminyak
tutup untuk sementara waktu sejak 1 Mei 2020, namun sudah beroperasi dan
menerima tamu kembali sejak tanggal 15 Desember 2020.
Surat PHK kepada 100 orang pekerja W
Bali Seminyak dikirim melalui paket pos, dan dari isi surat PHK tersebut, pihak
Hotel W Bali Seminyak mengaku dalam keadaan merugi karena tidak ada tamu yang
datang menginap (terutama tamu dari negara asing) sehingga harus melakukan PHK
dengan alasan force majeure.
Apabila alasannya merugi, hotel mana (setidaknya)
di Bali yang tidak merugi akibat pandemi Covid-19? Hampir seluruhnya merugi, namun
bagaimana dengan keuntungan bisnis yang sudah didapat oleh Pengusaha Hotel W Bali
Seminyak selama beropersasi sejak tahun 2010?
PHK terhadap 100 orang pekerja W Bali
Seminyak dengan alasan force majeure,
dilakukan justru ketika Gubernur Bali telah mengeluarkan surat edaran nomor 4195/IV/DISNAKERESDM
tanggal 10 Juni 2020 yang ditujukan kepada seluruh Pimpinan Perusahaan di
wilayah Bali, yang menyatakan sebagi berikut:
1. Untuk tetap menjaga hubungan industrial
yang harmonis antara pengusaha dengan pekerja/ buruh, dan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena alasan
dampak Covid-19.
Selanjutnya, dari 100 orang yang di
PHK, terdapat 66 orang pekerja yang akhirnya mengambil pesangon, bukan karena
mereka setuju di PHK, mereka terpaksa mengambil pesangon untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka dan keluarganya sehari-hari dalam masa yang sulit ini.
Ada 34 orang pekerja lainnya yang masih
bertahan, mereka menolak di PHK. Mereka merasa PHK ini tidak adil. Mereka
dipilih secara acak dan di PHK, meskipun pihak serikat pekerja di Hotel W Bali
Seminyak sudah mengusulkan agar menghindari melakukan PHK dan meminta pihak Hotel menawarkan program pensiun dini
kepada seluruh pekerjanya secara sukarela, namun ditolak oleh pihak Hotel.
Setelah bertahan lebih dari 1 tahun, akhirnya pihak Pengusaha Hotel W Bali Seminyak
menggugat PHK 34 orang pekerja ini ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Denpasar.
Dalam gugatannya, pihak Hotel menuntut dirinya sendiri untuk
membayar pesangon kepada 34 orang pekerja tersebut sebesar Rp. 1.704.235.600,-
( satu milyar tujuh ratus empat juta dua ratus tiga puluh lima ribu enam ratus
rupiah). Apabila diambil rata-rata, maka per orang akan mendapatkan pesangon
sebesar Rp. 50.124.576,-, dengan asumsi tersebut, maka apabila dikalikan 100
orang (jumlah orang yang di PHK dengan alasan force majeure), maka didapatkan hasil sebesar Rp. 5.012.457.600,-
(lima milyar dua belas juta empat ratus lima puluh tujuh ribu enam ratus
rupiah).
Apabila pihak Hotel W Bali Seminyak
mengaku merugi, bagaimana logikanya pihak hotel ternyata mampu dan mau membayar
pesangon 100 pekerjanya sebesar Rp. 5 milyar? Dimana seharusnya uang tersebut
dapat digunakan untuk biaya pemulihan hotel selama pandemi covid-19.
Bicara tentang PHK dengan alasan force majeure, maka bagaimanapun juga,
ada banyak alasan mengapa "Force
majeure" tidak dapat, dan seharusnya tidak boleh digunakan sebagai alasan
untuk melakukan PHK.
Penyebaran Covid-19 yang disebabkan oleh virus SARS-Cov-2 bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah, tapi sebagai
hasil dari tindakan manusia (atau bukan tindakan), dan merupakan sebuah
kegagalan dari para pemerintah dan institusi di tingkat lokal, nasional dan
internasional untuk mencegah penyebaran penyakit ini menjadi pandemi. Hal ini
menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 bukanlah
sebuah peristiwa atau fenomena alamiah, dan bukan merupakan sesuatu yang dapat
dimasukan dalam terminologi hukum sebagai “kehendak Tuhan” atau God’s Act.
Arti Force Majeur itu sendiri adalah sebuah kondisi keterdesakan yang
amat sangat, yang merujuk kepada keadaan diluar kendali dari pemerintah,
perusahaan, atau orang atau institusi yang berbadan hukum. Seperti misalnya
termasuk didalamnya adalah perang, kerusuhan atau gelombang kriminalitas dalam
skala besar, atau sebuah peristiwa yang dijelaskan oleh istilah hukum sebagai
"Kehendak Tuhan" (badai, banjir, gempa bumi, gunung meletus, dsb).
Sebuah peristiwa yang disebut sebagai
"force majeure" berarti
pemerintah, perusahaan atau orang atau Institusi berada dalam posisi tidak mampu memenuhi
kewajibannya dan terbebas dari kewajiban atau tanggung jawabnya. Dalam banyak kasus, klausula dalam hukum atau
perjanjiannya hanya menunda kewajiban dari para pihak selama keadaan force majeure itu berlangsung.
Syarat hukum untuk sebuah keadaan force majeure sangatlah ketat. Tidak
hanya harus perusahaan, individu atau institusi yang harus membuktikan bahwa sebuah
keadaan diluar kemampuan kendali mereka, tapi mereka juga harus dapat membuktikan
bahwa peristiwa itu adalah sebuah kondisi yang tidak bisa diantisipasi. Hal ini juga harus dibuktikan bahwa situasi
tersebut secara jelas menghambat mereka untuk memenuhi kewajiban, dan karenanya
tidak boleh ada itikad buruk dalam
melakukannya.
Hukum publik dan hukum perdata
(sipil) di Indonesia, tidak memasukan "pandemi" , “epidemi”, atau
"penyebaran wabah" dalam
definisi force majeure. Lebih penting
lagi, perjanjian dalam hubungan kerja dan ketenagakerjaan (perjanjian kerja) tidak memasukkan klausula force majeure. Hanya
kebangkrutan yang secara hukum dapat dibuktikan yang diakibatkan oleh Covid-19,
yang dapat diterima sebagai penyebab berakhirnya kewajiban Pengusaha. Bagaimanapun
juga, keadaan bangkrut mensyaratkan proses pencarian aset perusahaan
(likuidasi) untuk memenuhi kewajiban, termasuk didalamnya adalah kewajiban
keuangan terhadap pekerja sebagai Kreditur Utama.
Tidak ada satupun pengusaha yang
dapat mengklaim bahwa force majeure
adalah sebuah kebangkrutan atau sedang menghadapi likuidasi. Properti hotel,
sebagai contoh, hanya tutup secara sementara selama pandemi Covid-19, dan akan segera kembali
melanjutkan kegiatan usahanya ketika Pandemi Covid-19 berakhir, dan status kedaruratan telah dicabut. Hal ini
sangat penting bagi pemilik hotel maupun pengelola hotel yang mengoperasikan
hotel secara kelompok bahwa mereka tidak sedang menghadapi kebangkrutan,
melainkan hanya sebuah penundaan kegiatan usaha secara sementara.
Memperlakukan pandemi Covid-19 sebagai alasan pembenar untuk
melakukan penutupan untuk sementara waktu, dan melakukan PHK massal, namun sementara
itu tetap mempertahankan bisnis untuk dapat dibuka lagi setelah krisis, adalah
sebuah tindakan yang dapat dianggap sebagai itikad buruk, dan hal ini meniadakan
hak untuk dapat dikaitkan sebagai Force
majeure. Ini hanyalan akal-akalan Pengusaha untuk menolak Bertanggung Jawab
dalam Pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, Federasi Serikat
Pekerja Mandiri yang merupakan afiliasi di tingkat nasional dari Serikat
Pekerja Mandiri W Bali Seminyak, dimana 34 orang yang di gugat PHK adalah
merupakan anggotanya menuntut:
1. Cabut surat PHK kepada 34 orang pekerja yang di PHK dengan alasan Force majeure;
2. Pekerjakan kembali 34 orang pekerja W Bali Seminyak pada posisi dan jabatan semula;
3. Tidak boleh ada lagi PHK dengan alasan force majeure sebagai dampak dari pandemi Covid-19;
4. Pemerintah Provinsi Bali harus lebih tegas menindak pengusaha nakal dengan menutup usahanya yang memanfaatkan pandemi covid-19 untuk melakukan PHK massal dengan alasan force majeure;
5. Pengusaha nakal yang hanya mengambil untung dari bisnis pariwisata di Bali, dan tidak mau menghargai dan menghormati masyarakat Bali, sebaiknya tidak diberikan tempat di tanah Bali.
Demikian siaran pers ini kami
sampaikan, atas budi baik kawan-kawan jurnalis, kami sampaikan terima kasih.
Salam Solidaritas
Berita terkait: