Oleh: M. Husain Maulana**
Singkatnya, Jurnalistik buruh itu seperti senapan. Dan sebagaimana umumnya senapan, maka ia harus ditembakkan.
Anton Checkov, penulis dan dramawan asal Rusia itu mula-mula yang mempopulerkannya. Ia mengatakan, jika dalam sebuah cerita muncul pistol. Maka pistol itu harus ditembakkan. Seperti halnya tulis menulis, propaganda, dan literasi dari buruh, ia adalah senjata yang jitu untuk buruh membekali perjuangannya. Menyerang musuhnya. Dan tentu saja, mengajak buruh yang lain untuk semakin mengobarkan semangat juangnya.
Lalu mengapa buruh harus membekali
jurnalistik untuk perjuangannya?, jawaban awal saya, tanpa jurnalistik, buruh
hanya akan semakin memenjarakan dirinya dengan aktifitas ekonomis atau kasus
yang begitu-begitu saja. Tidak ada gairah. Tidak ada upaya berarti untuk
semakin menyiapkan diri pada perkembangan zaman, pada generasi yang akan
datang.
Jadi apa itu jurnalistik buruh?
Secara singkat, jurnalistik adalah kegiatan mengabarkan serangkaian aktifitas, perjuangan, dan peristiwa menggunakan media tertentu. Jurnalistik diambil dari kata jurnal yang berarti catatan yang memiliki ukuran waktu atas peristiwa yang terjadi. Dalam prakteknya, jurnalistik sering menggunakan media cetak dan media audio serta media audio visual untuk menyalurkan atau mendistribusikan produk informasinya.
Sejarah mencatat nama-nama penting dalam piranti yang mendukung aktifitas jurnalistik. Pertama, Gulgelilmo Marconi, dia adalah penemu radio. Kemudian Philo Farnsworth, dia adalah penemu televisi. Dan ketiga, Johan Guttenberg, Ia adalah penemu mesin cetak. Nama yang terakhir ini adalah penanda penting. Sebagaimana yang kita ketahui bersama tentang revolusi industri, sebaran massif yang dihasilkan mesin cetak boleh dibilang menjadi batu pijak peradaban modern.
Pada perkembangan sejarah yang lebih awal, surat kabar pertama di dunia yang tercatat dalam sejarah jurnalistik adalah Acta Diuma yang terbit tahun 59 SM di Roma. Surat kabar ini berisikan kebijakan-kebijakan Julius Caesar yang media penulisannya diletakkan di sembarang tempat. Hal ini dilakukan karena saat itu kertas masih belum ditemukan. Baru kemudian setelah kertas ditemukan pertama kali oleh Tsai Lun dan mesin cetak oleh Johan Guttenberg pada 1456, surat kabar mulai dicetak dan disebarluaskan.
Surat kabar pertama di dunia yang diterbitkan adalah Relation pada tahun 1605 oleh Johan Carolus. Dan satu lagi, yang tertua dan sampai sekarang masih terbit adalah Post dari Swedia yang terbit mulai tahun 1645. Sedangkan surat kabar pertama yang terbit di Indonesia atau Hindia Belanda saat itu adalah Batavia Nouvelles pada tahun 1744.
Sejarah mencatat. Peranan surat kabar sebagai media Jurnalistik ini banyak mewarnai pergerakan rakyat di Hindia Belanda dalam menentang Kolonial. Beberapa nama penting itu seperti Tirto Adhi Suryo yang mendirikan Medan Priyai. Lalu ada Mas Marco Kartodikromo yang mendirikin Dunia Bergerak. Di masa kemerdekaan ada Berita Indonesia (BI) yang diprakarsai Eddie Soeradi. Dan yang terakhir ada Harian Rakyat yang dipimpin oleh Njoto. Beberapa surat kabar tersebut terbukti memiliki peranan yang penting dan kuat dalam menerima aduan rakyat yang terampas keadilannya. Dan tentu saja, karena surat-surat kabar itu, kesadaran rakyat menjadi semakin bangkit untuk berjuang membela dan mempertahankan haknya.
Tak terkecuali bagi buruh. Tepat di tahun 1920, Ki Hajar Dewantara menerjemahkan lagu Internationale ke dalam Bahasa Indonesia dan diterbitkan dalam Sinar Hindia, koran yang diproduksi oleh Sarekat Islam Semarang No. 87, 5 Mei 1920. Momentum yang tepat untuk 2 tahun awal Hindia Belanda memperingati hari buruhnya. Pada masa-masa itu, banyak sekali buruh yang menulis dan menyampaikan suaranya di surat kabar. Seruan protes atas jam kerja yang panjang, upah yang tidak layak, bahkan ajakan untuk mogok kerja di berbagai tempat.
Media buruh terbukti selalu penting. Baik
di masa silam. Juga di masa kini dan masa mendatang.
Seperti apakah Media buruh itu?
Secara mendasar, media dapat diartikan dalam beberapa hal. Pertama media sebagai perantara (Mediator). Kedua, Media sebagai Medium atau ruang/tempat. Media, secara lebih lengkap, bisa diartikan sebagai tempat yang menghubungkan pemberi pesan dan penerima pesan dengan menggunakan alat atau cara tertentu.
Media buruh dalam hal ini memiliki ciri dan komponennya yang khas. (1). Media buruh jelas memiliki keberpihakan pada klasnya. (2). Media buruh berjuang untuk hak dan kesejahteraannya. (3). Media buruh memberikan pemahaman dan kesadaran pada buruh yang lain untuk mengerti apa yang menjadi hak dan perjuangannya.
Lebih lanjut, Media buruh memiliki fungsi agitasi dan propaganda. Propaganda bisa diartikan sebagai aktifitas/kegiatan menyampaikan, menjernihkan, dan menghidupkan perspektif yang tepat pada kenyataan kongkrit yang dihadapi untuk bisa direspon dalam bebagai bentuk kegiatan. Sasaran dari propaganda ini menjangkau anggota, massa yang luas, dan massa yang belum terorganisir.
Selanjutnya, kerja media buruh sebagai propaganda setidaknya memiliki 3 tugas. (!). Membongkar musuh yang menghalangi perjuangan. (2). Memperjelas garis perjuangan. (3). Menganalisis situasi kongkrit untuk dijadikan tindakan.
Media propaganda buruh memiliki banyak bentuknya untuk bisa dikembangkan. Umumnya menggunakan jalan kebudayaan. Seperti publikasi massa, selebaran, rapat massa, diskusi kelompok, lukisan, slogan, poster, komik, kunjungan rumah, drama/sandiwara, produksi lagu dan puisi, tarian, siaran radio, video dan film, media sosial, dan banyak yang lain. Termasuk juga melakukan propaganda di media massa yang banyak dikuasai kelompok yang menjadi musuh perjuangan.
Dalam kesempatan ini, kita akan banyak
membahas tentang pondasi dasar dari bentuk media dan kegiatan jurnalistik:
tulisan.
Lantas, apa tantangan bagi jurnalistik buruh untuk terus bisa hidup dan berkembang?
Buruh adalah klas di dalam masyarakat yang erat kaitannya dengan hubungan produksi. Cara melihatnya seperti ini. (1). Siapa yang berkuasa pada kepemilikan alat produksi. (2). Siapa yang berpartisipasi paling banyak dalam kegiatan produksi? (3). Siapa yang mendapatkan hasil distribusi paling banyak dalam kegiatan produksi.
Sekarang kita bisa menghubungkannya pada media buruh sebagai alat produksi yang dimiliki oleh buruh. Buruh juga yang berpartisipasi penuh dalam menciptakannya. Serta buruh juga yang berkuasa penuh pada distribusi dan hasil yang dicapai dari distribusinya. Produknya berupa informasi atau berita yang tepat tentang buruh. Sasarannya tentu saja memberikan perspektif yang tepat bagi buruh untuk memperjuangkan hak serta menyuarakan tuntutannya.
Jelas sekali di sini bahwa buruh adalah pemilik utama medianya. Hal yang harus dilakukan buruh adalah terus produktif, mengembangkan medianya, memberikan keuntungan kolektif untuk siapa saja yang terlibat di dalamnya. Dan tentu saja, terus belajar dan mengevaluasi setiap hasil capaiannya untuk menolak hancur dan binasa.
Dua senjata utama untuk buruh bisa terus
eksis dan menolak krisis yang terjadi pada medianya adalah dengan memperbanyak kemampuan
membaca dan menulis bagi buruh itu sendiri. Hal ini penting untuk terus dijadikan
komitmen yang serius, di tengah jam kerja yang menggerus. Juga ditengah
maraknya bertumpuk kasus-kasus.
Aktifitas membaca dan menulis adalah pondasi dasar, mengapa demikian?
Julia Alvarez, Penulis Novel in The Time of Butterflies pernah mengatakan, “Penduduk yang suka membaca, berpikir, dan penuh empati kemungkinannya kecil untuk dapat dikontrol dan diperdaya.”
Oleh karenanya, aktifitas membaca menjadi begitu penting. Dan apa yang dibaca, tentu berasal dari apa yang ditulis. Ada seseorang pernah mengatakan, “jika kau ingin mengenal dunia, maka membacalah. Dan jika kau ingin dikenal dunia, maka menulislah.” Mari, kita menguatkan pondasi dasar ini Bersama-sama.
Pertama, dunia dibangun dari bacaan dan
tulisan.
Seperti juga yang kita tahu, dunia dibangun oleh buruh, dan juga dari bacaan dan tulisan. Peradaban dimulai dari ditemukannya bentuk tulisan. Lukisan manusia gua yang ditemukan juga berarti tulisan dalam bentuknya yang lain. Ia menyampaikan bahasa. Meskipun belum dalam bentuk aksara yang mampu diterjemahkan.
Semua peradaban besar memiliki produk tulisan dan pembacanya yang teguh. Begitu juga agama, semua agama memiliki kitab suci untuk dibaca oleh penganutnya. Dan semua negeri, dari peradaban Mesopotamia sampai sekarang, selalu ada tulisan-tulisan penting yang tak akan pernah lekang.
Tulisan adalah penanda. Aktifitas membaca menghidupkan penanda itu. Dan sejarah, dikumpulkan dari karya-karya tulis yang ada untuk menghidupkan masa itu. Oleh karenanya, agar sejarah tidak terus menerus didominasi atau diputarbalikkan faktanya oleh penguasa, rakyat harus menulis sejarahnya sendiri. Buruh harus menulis sejarahnya sendiri. Oscar Wilde, Penulis Novel the Picture of Dorian Gray, pernah mengingatkan, “Semua orang bisa membuat sejarah. Hanya orang hebat yang bisa menuliskannya.”
Kedua, pemaknaan mendalam atas aktifitas
membaca dan menulis.
Membaca, secara singkat, adalah proses memindahkan bahasa dari tulisan menjadi sesuatu yang bisa kita pahami. Sedangkan menulis, ia adalah proses memindahkan bahasa dari sesuatu yang kita pahami menjadi bentuk aksara yang mampu dipahami oleh orang lain, dan terutama juga, oleh diri kita sendiri.
Membaca dan menulis ini sebenarnya adalah kewajaran manusia yang diberikan akses kemampuan untuk belajar dan mengembangkan kegiatan tersebut. Buruh yang tidak membaca, kemungkinan besar akan mudah terpedaya. Buruh yang tidak menulis, kemungkinan besar akan mudah untuk ingatan dan pengetahuannya terkikis.
Kemampuan kita dalam menghadirkan tulisan dan menghayati tulisan dengan sepenuh jiwa seringkali menjadi pengingat penting dalam hal-hal yang terjadi dalaam kehidupan kita. Banyak orang yang mendapatkan motivasi dan inspirasi dari apa yang dibacanya. Terlebih jika tulisan itu dibuat begitu jujur dan mengalir seperti dalam sebuah cerita.
Ketiga, kekuatan cerita.
Hampir seluruh orang di Indonesia yang bisa membaca pasti sedikit banyak tahu tentang cerita Malin Kundang. Dari cerita itu, orang mendapatkan pesan dan keteladanan bahwa bersikap durhaka kepada orang tua yang begitu mengasihi dan menyayangi kita adalah hal yang tak termaafkan.
Cerita yang kuat mampu memberikan daya
ingat yang tahan lama. Dalam hal ini, kita bisa sebutkan contoh cerita yang
lain. Misalnya, cerita perjuangan Munir untuk perjuangan HAM, Cerita Marsinah
untuk membela hak buruh, dan banyak cerita yang lain.
Kekuatan cerita ini bisa kita munculkan dari hal-hal yang kita kerjakan, bisa juga dari keteladanan orang di sekitar kita, kawan buruh kita, pengurus serikat kita, dan lain sebagainya.
Cerita yang baik umumnya memiliki alur yang bisa terpahami, tokoh yang terlibat di dalamnya, dan pesan yang tersampaikan. Tentu saja kita bisa membuatnya sendiri. Seperti cerita buruh ter-PHK yang membuat orang bersedia ikut berjuang dan bersolidaritas karena cerita yang kita tuliskan.
Pada pemandangan umum yang sering dijumpai, beberapa orang mungkin bisa menolak teori. Tapi kebanyakan orang sulit menyangkal cerita berdasarkan pengalaman nyata. Bahkan kebanyakan orang akan lebih mudah menerima kebenaran teori dalam bentuk cerita yang disampaikan.
Keempat, keteladanan yang diperoleh dari
para pembaca.
Beberapa tokoh besar sering dijumpai memiliki buku-buku favoritnya. Buku-buku itu mungkin ada di dalam tasnya, ada di rak perpustakaan kecilnya, bahkan ada di smartphone-nya yang selalu dibawa ke mana-mana. Bung Hatta, pernah menegaskan, biarkan saja aku di penjara, asalkan aku masih bisa membaca buku-bukuku.
Banyaknya tulisan yang berseliweran di lini sosial media kita juga akan membuat kita bersikap kritis jika kita memiliki budaya membaca yang baik. Kita tidak akan menelan mentah derasnya arus informasi begitu saja. Kita akan memfilternya. Mencari pembandingnya. Hasilnya, kita akan mendapat simpulan yang tepat dalam membandingkan ulasan UUCK versi pemerintah dan ulasan UUCK dari versi Buruh.
Aktifitas membaca yang baik melatih kita untuk berpikir jernih, memperkaya pemahaman dan kosakata, tidak terburu-buru dalam mengambil kesimpulan, dan membimbing kita untuk melakukan analisis dan perencanaan yang tepat.
Kelima, rumus dan formula membaca.
Secara umum, manusia normal memiliki kecepatan membaca 250 kata dalam waktu 1 menit. Hal ini berarti untuk bacaan singkat di website yang terdiri dari 500 – 1000 kata, kita hanya membutuhkan waktu 2-4 menit untuk membaca itu. Bahkan untuk buku tipis yang terdiri dari 100-an halaman, kita hanya membutuhkan waktu 1 jam-an untuk menyelesaikannya dari awal sampai akhir. Dari formula dan rumus membaca ini saja, kita sebenarnya tidak cukup beralasan untuk malas melakukannya.
Kita bisa memulainya dari bacaan yang
kita sukai dan kita butuhkan. Bagi buruh, misalnya bacaan itu bisa berupa
artikel-artikel perjuangan, analisis terhadap kasus, sejarah buruh pada masa
tertentu, dan lain sebagainya. Sebagai tambahan metode, kita bisa memberikan
penanda dengan menyalin ulang dengan menulis di catatan perihal apa yang
membuat kita tertarik. Catatan kecil itu bisa dalam bentuk informasi penting,
quotes, atau tulisan yang menarik lainnya.
Bagaimana cara kerja tulisan?
Tulisan yang baik itu seperti pencerita yang handal. Kita bisa dibuatnya begitub terkagum-kagum, fokus, dan malas untuk beranjak karena kekuatan pesan yang disampaikan.
Lebih lanjut, cara kerja tulisan terdapat pada kesinambungan tiap kalimat dalam membentuk kesatuan pemahaman tertentu. Lebih mudah dipahami, lebih berhasil ia menjadi tulisan. Tulisan yang sulit dipahami biasanya menandakan bahwa tulisan itu kurang cukup baik dan memiliki kerumitan tertentu.
Beberapa orang hebat mampu menulis sesuatu yang berat menjadi begitu sederhana. Terutama untuk buruh, tulisan yang ringkas dan mudah dipahami seyogyanya menjadi bacaan yang sering dihadirkan. Meskipun juga buruh perlu belajar membaca tulisan Panjang untuk melatih kemampuan dalam menganalisis sesuatu atau kasus tertentu secara lebih mendalam.
Mengenai kegiatan menulis ini, Seno Gumira Ajidarama pernah menuliskan, “Menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan oleh manusia.”
Sedangkan mengenai bentuknya, secara umum
tulisan terdiri dari tema dan isi. Keduanya bertugas untuk menyampaikan pesan
sebaik-baiknya kepada pembaca.
Tentang tema, judul, isi, data/fakta, dan kekuatan tulisan. Apa itu?
Tema adalah gambaran umum yang disampaikan dalam tulisan. Judul menjadi induk utama dari tulisan. Isi menjelaskan apa saja yang ada dalam poin-poin tulisan. Data/fakta menjadi pesan-pesan penting yang dihadirkan dalam tulisan.
Penyusunan yang baik dan tepat dari tema, judul, isi, dan data/fakta dalam tulisan yang memberikan pemahaman menjadi kekuatan utama pada tulisan yang dibuat.
Bermain-main dengan outline, mudah kok.
Sekarang kita akan mulai dengan membuat kerangka tulisann atau yang sering disebut Outline. Cara kerjanya kita bisa mulai dari poin-poin singkat yang menjadi apa yang mau kita tuliskan. Contohnya seperti ini.
Saya akan menulis tentang perjuangan pentingnya upah sektoral di Jawa Tengah dan DIY untuk pekerja sektor perhotelan.
Poin-poinnya berikut ini:
- Jawa Tengah dan DIY memiliki pekerja
perhotelan yang sangat banyak
- Upah buruh di Jawa Tengah dan DIY
sangatlah rendah
- FSPM ada di garda depan untuk menyuarakan
upah sektoral
- Pemerintah perlu memberi perhatian
- Pekerja perhotelan rentan terhadap upah
rendah dan jam kerja fleksibel
- Upah sektoral harus diatur, jika tidak kondisi buruh di sektor perhotelan semakin terancam
Poin-poin di atas inilah yang nantinya
akan kita kembangkan menjadi bentuk tulisan yang utuh. Kita bisa memulainya
dengan poin-poin singkat terlebih dahulu sebagai panduan awal sebelum
menulisnya secara detail.
Menggunakan rumus umum 5W+1H.
5W+1H sering menjadi panduan penting
dalam penulisan. 5W+1H terdiri dari What (Apa), Why (Mengapa), Who (Siapa),
Where (Dimana), When (Kapan), dan How (bagaimana). Kita akan coba
mengambangkannya dari contoh outline di atas. Kerangka pertanyaannya adalah
sebagai berikut:
- Apa itu upah sektoral untuk pekerja di
sektor perhotelan?
- Mengapa upah sektoral penting?
- Siapa yang bisa berperan mewujudkan upah
sektoral untuk pekerja sektor perhotelan?
- Di mana upah sektoral diperjuangkan?
- Sejak kapan isu upah sektoral menjadi
penting untuk disuarakan?
- Bagaimana cara memperjuangkan upah sektoral?
Pertanyaan-pertanyaan di atas ini akan membuat kita memikirkan jawabannya dan menjadi bagian penting untuk dihadirkan dan dikembangkan dalam tulisan. Hal ini nantinya akan membantu kita dalam memberikan pengertian dan pemahaman dari tulisan yang kita hadirkan.
Sekarang, tulis saja, kembangkan semuanya, editnya belakangan.
Perhatian penting, jangan menulis sambil
mengedit. Biarkan dulu semuanya mengalir dan tertuang. Setelahnya, proses
editing tulisan bisa dilakukan belakangan.
Mengembangkan tulisan bisa diartikan dengan menyusun rangkaian kalimatnya menjadi bentuk paragraf. Lalu susunan dari paragraf satu dan yang lain nantinya akan membentuk tulisan yang utuh.
Sebagai contoh, kita akan kembangkan
outline dan 5W+1H di atas dalam bentuk tulisan ringkas berikut ini:
Pekerja Hotel di Jateng-DIY Darurat Upah Sektoral
Jawa Tengah dan DIY memiliki pekerja perhotelan yang sangat banyak. Data BPS menyebut ada sekitar … hotel dengan … pekerja yang menggantungkan hidup di dalamnya. Keberadaan hotel yang berjumlah banyak ini tidak bisa dipisahkan dari daya tarik wisata dan ikon kota budaya yang melekat dalam setiap sudut dan jalanan di kotanya.
Kondisi berlimpahnya hotel ini sayangnya tidak melulu memberikan dampak baik. Terutama untuk buruhnya. Dari tiga tahun ke belakang saja ini misalnya. Hitungan upah buruh di Jawa Tengah dan DIY sangatlah rendah. Kabupaen Gunung Kidul, misalnya. Sampai hari ini, di tengah indahnya pantai-pantai yang ada di sana, upahnya tetap menjadi juara yzng terendah di Indonesia.
FSPM memiliki sikap yang tegas perihal upah ini. FSPM ada di garda depan untuk menyuarakan upah sektoral. Upah sektoral dalam hal ini adalah ketentuan upah khusus yang diatur berdasarkan klasifikasi kemampuan dan skill pekerja berdasarkan sektor yang digelutinya. Junlah nominal besaran upahnya harus lebih tinggi daru upah minimum kabupaten/kota.
Pemerintah perlu memberi perhatian yang serius. Melalui kementrian tenaga kerja dan kementrian pariwisata, kesejahteraan pekerja sektor perhotelan tidak bisa diabaikan begitu saja. Selanjutnya, pemerintah daerah dalam hal ini mengeluarkan kebijakan yang mengatur mengenai aturan besaran upah sektoral tersebut.
Seperti yang kita ketahui Bersama, pekerja
di sektor perhotelan rentan terhadap upah rendah dan jam kerja fleksibel.
Praktik dan bentuknya bermacam-macam. Padahal mereka, pekerja sektor perhotelan
ini diberikan tambahan memiliki skill khusus yang harusnya membuat kondisi
kerjanya bisa semakin layak.
Isu ini harus menjadi perhatian kita Bersama. Upah sektoral harus diatur. Jika tidak kondisi buruh di sektor perhotelan akan semakin terancam. Buruh yang mendapatkan ancaman dan ketidakadilan atas hak yang mestinya dia dapatkan, biasanya tidak akan ragu untuk terus melawan sampai titik darah penghabisan.
Tulisan di atas ini terdiri dari 283 kata
yang dikembangkan dari 6 poin yang dituliskan di dalam outline. Beberapa
pelengkap tulisannya kita kembangkan dari pertanyaan 5W+1H yang juga telah kita
siapkan sebelumnya. Tulisan di atas ini masih bisa kita edit dan kita kembangkan
menjadi lebih detail dan Panjang berdasarkan berbagai hal atau informasi yang
ingin kita tambahkan.
Menulis sebagai cara belajar yang seru, sekaligus menyeimbangkan emosi dan mental.
Orang yang menulis memenangkan beberapa hal. Pertama, gagasan yang tersimpan di kepalanya. Kedua, kemampuan menggunakan bahasa. Ketiga, menyusun rangkaian kalimat yang beraneka ragam dari awal sampai akhir.
Menulis mengajak kita menyelami kedalaman kenyataan hidup manusia. Menulis membuat kita membaca berkali-kali untuk apa yang telah kita tuliskan. Menulis, dalam berbagai terapi, terbukti mampu memberi peran aktif dalam keseimbangan emosi dan mental.
Menulis mengajak kita memusatkan energi dan penyalurannya pada proses menghasilkan tulisan tersebut. Semakin sering menulis, semakin baik juga energi yang dihasilkan dari kegiatan tersebut.
Buruh harus menulis. Buruh harus
menyampaikan kepada khalayak tentang apa yang diperjuangkannya dan siapa yang
menjadi musuh penghalangnya. Buruh harus menyiapkan energi terbaiknya untuk
aktifitas menulis dan aktifitas membaca. Buruh harus menuliskan beritanya,
sejarahnya, peristiwanya, dan perjuangannya sendiri. Bukan ditulis dari
orang-orang atau kelompok yang telah merampas hak-haknya. Sebagai penutup,
ingat nasihat terakhir dari Pramodya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi
langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan dari
sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Jadi, sudah siapkah kawan-kawan,
menembakkan senapan itu?
Yogyakarta, November 2021
*) Materi ini digunakan untuk keperluan
workshop jurnalistik FSPM
**) Penulis adalah Kordinator Departemen
Media dan Propaganda SERBUK Indonesia.