“Buruh bukanlah komoditas.” Tapi tekanan akan upah borongan, kuota dan ketakutanlah yang menyebabkan buruh menjadi komoditas.

Oleh: Dr. Muhammad Hidayat Greenfield, Sekretaris Regional IUF Asia/Pasifik | Dec 12, 2021 | Bahasa Indonesia, Freedom of Association, Social Justice


Deklarasi Philadelphia diadopsi pada 10 Mei 1944, menegaskan kembali dan mendefinisikan maksud dan tujuan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang didirikan pada tahun 1919. Artikel pertama menyatakan:

 

(a)   tenaga kerja bukanlah komoditas;

 

Deklarasi disepakati pada titik sejarah yang penting, menandai awal dari akhir kolonialisme bagi banyak negara yang berjuang untuk kemerdekaan. Di banyak negara yang baru merdeka, sisa-sisa kolonialisme akan berlanjut dalam bahasa, pendidikan, hukum, perbatasan, kepemilikan tanah, serta struktur pemerintahan. Praktik kolonial juga akan terus berlanjut dalam berbagai bentuk rasisme, diskriminasi, perbudakan, dan kerja paksa, serta korupsi besar-besaran. (1)

Salah satu praktik yang juga akan terus berkembang adalah sistem upah borongan dan kuota, yang dirancang untuk memaksa pekerja bekerja lebih keras untuk menghasilkan lebih banyak. Sistem upah borongan dan kuota ini dipahami dalam industri modern sebagai sistem penghargaan dan insentif – dan dalam gig economy dan dunia teknologi saat ini sebagai peluang dan hak istimewa berwiraswasta – sebenarnya berakar pada disiplin tenaga kerja. Sistem ini dirancang untuk memaksa pekerja; untuk memeras lebih banyak dari pekerja.

Efektivitas sistem ini adalah seolah-olah para pekerja bekerja lebih keras untuk menghasilkan lebih banyak dari diri mereka sendiri. Jadi akibat pemikiran tersebut, para pekerja mendorong diri mereka sendiri untuk memenuhi target dan kuota, agar lebih produktif dan memproduksi lebih banyak bagian yang dirancang untuk diproduksi oleh upah borongan. Paksaan untuk melakukan ini dibenarkan oleh pengusaha sebagai upaya memelihara daya saing yang melekat pada manusia, dan seringkali menyalahgunakan Teori Sintasan yang Paling Layak atau Survival of the Fittest milik Darwin untuk membenarkan hal ini. (2)

Bagi ratusan juta pekerja, paksaan ini – tekanan tanpa henti ini – tidak berubah. Tekanan yang diberikan oleh upah borongan dan kuota tidak berasal dari keinginan internal untuk bersaing, tetapi hanya untuk bertahan hidup. Hal ini terjadi karena pekerja dan keluarganya tidak mendapat jaminan upah hidup dan perlindungan sosial yang diperlukan untuk memastikan akses terhadap kesehatan, pendidikan, perumahan dan pangan & gizi yang layak, dan kualitas hidup yang lebih baik. Seperti yang telah kami jelaskan di bagian lain, upah borongan dan kuota adalah pendorong utama pekerja anak.

Tekanan yang diciptakan oleh upah borongan dan kuota berdampak buruk pada kesehatan pekerja.

Di bawah tekanan upah borongan, kuota atau target, para pekerja bekerja di luar keterbatasan fisik mereka. Beban kerja yang berlebihan dan jam kerja yang panjang tanpa istirahat atau makan adalah hal yang biasa bagi pekerja perkebunan dan peternakan serta pekerja industri daging seperti halnya pekerja di hotel-hotel mewah dan rantai makanan cepat saji di seluruh dunia. Kuota, target, dan upah borongan mendorong pekerja untuk bekerja lebih lama dari yang fisik mereka mampu tanggung. Otak dan sistem saraf mereka menyuruh mereka berhenti bekerja dan beristirahat. Tubuh mereka mengirimkan sinyal berulang (yaitu rasa sakit). Namun, kuota memberitahu mereka untuk mengabaikan semua ini dan terus bekerja. (3)

Waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi kuota atau mendapatkan upah yang cukup melalui upah borongan menjadi sangat penting. Pekerja harus melupakan istirahat, istirahat makan dan untuk pergi ke toilet, dan mendorong diri mereka melampaui batas fisik mereka. Dalam upaya untuk tidak kehilangan waktu dan mencapai target mereka, pekerja terpaksa tidak menghiraukan tindakan kesehatan dan keselamatan kerja yang pada akhirnya meningkatkan risiko terhadap kesehatan dan kehidupan mereka. Ketika berada di bawah tekanan dari upah borongan atau kuota, pekerja tidak dapat berhenti untuk mengenakan alat pelindung diri atau dengan hati-hati mengikuti instruksi keselamatan karena mereka kehilangan pendapatan pada saat itu. Semakin besar kebutuhan akan pendapatan tersebut, semakin besar pula risikonya.

Pemberi kerja mengabaikan bahwa hal tersebut adalah akibat dari sistem upah borongan dan kuota dan malah menyalahkan pekerja karena bekerja tidak aman. Alih-alih menjamin upah layak melalui perundingan bersama dan mendesain ulang beban kerja agar dilakukan dengan aman dalam delapan jam, pengusaha memperkenalkan segala macam pelatihan … dan segala macam hukuman. Sungguh ironi yang sangat mengganggu bahwa bahkan perusahaan terbesar di dunia memaksa pekerja untuk mengorbankan kesehatan dan keselamatan di bawah tekanan upah borongan dan kuota kemudian memperkenalkan sistem hukuman yang rumit untuk jalan pintas ini.

Tidak ada keraguan bahwa perubahan iklim menyebabkan kenaikan, sehingga akan ada risiko stres panas atau kelelahan akibat panas dan hipertermia yang lebih besar (4). Jika pekerja tidak bisa berhenti untuk istirahat minum air, mencari naungan dan istirahat pada saat ini, maka bayangkan seperti apa dua dekade mendatang. Dalam kondisi seperti ini, tekanan upah borongan dan kuota akan membunuh lebih banyak pekerja.

Pada akhirnya ini tentang ketakutan. Takut tidak cukup penghasilan atau takut kehilangan pekerjaan adalah alasan sebagian besar pekerja yang bergantung pada upah borongan dan kuota. Ada juga rasa takut disalahkan, “mengecewakan tim”, yang menghasilkan tekanan mental yang signifikan. Faktanya, bagi banyak pekerja muda yang saya temui, rasa takut disalahkan karena tidak bekerja cukup keras atau mengecewakan tim melebihi ketakutan mereka akan kehilangan pekerjaaan. Namun bagi banyak pemberi kerja, tampaknya ketakutan ini adalah inti dari praktik ketenagakerjaan modern mereka.

Tujuh puluh tujuh tahun setelah Deklarasi Philadelphia, kita harus mempertanyakan mengapa kita tidak membuat kemajuan yang cukup. Tenaga kerja merupakan komoditas dan salah satu faktor yang menopangnya adalah tekanan dari sistem upah borongan, kuota dan target. Tekanan ini mengandalkan ketakutan dan tidak adanya upah layak dan perlindungan sosial.

Untuk mengatasi ketakutan ini dan tidak adanya upah layak dan perlindungan sosial mungkin sebenarnya bergantung pada prinsip kedua yang dinyatakan dalam Deklarasi Philadelphia pada 10 Mei 1944:

 

 

(b)   kebebasan berekspresi dan berserikat sangat penting untuk kemajuan yang berkelanjutan;

 

Saatnya untuk mulai membuat kemajuan.


Pekerja tata graha hotel di Filipina memprotes "kuota kamar membunuh!" pada Hari Peringatan Buruh Internasional, 28 April 2018


Catatan

1.        Korupsi besar adalah korupsi pada tingkat pemerintahan tertinggi dan/atau korupsi di antara pemegang jabatan publik yang merusak hak-hak dasar suatu orang atau kelompok sosial tertentu. Lihat misalnya definisi hukum Transparency International tentang korupsi besar.

2.        Konsep Sintasan yang Paling Layak atau Survival of the Fittest mengacu pada konsep biologis reproduksi di lingkungan alam tertentu. “Kebugaran” mengacu pada tingkat keluaran reproduksi di antara kelas varian genetik tertentu. Jadi Darwin mengacu pada bagaimana beberapa organisme hidup dirancang lebih baik untuk lingkungan lokal daripada yang lain dan bagaimana mereka beradaptasi. Ini tidak ada hubungannya dengan kompetisi atau persaingan. Yang digunakan saat ini adalah Survival of the Fittest menjadi alasan untuk perlakuan tidak adil atau tidak manusiawi terhadap orang lain, menjadikan pembenaran mengapa mereka tertinggal. Para ahli biologi jelas bergerak maju sejak tahun 1869 dan pemikiran ilmiah telah berubah secara mendasar. Pemikiran perusahaan yang belum.

3.        Masih merupakan praktik umum bagi pengusaha di beberapa industri untuk menyediakan atau mendorong penggunaan berbagai jenis “pereda rasa sakit” bagi pekerja. Ini juga berawal dari masa kolonial ketika opiat digunakan secara luas sebagai bagian dari rezim kerja. Opiat sering digunakan untuk pembayaran dalam bentuk barang dan kecanduan opiat menyebabkan menumpuknya hutang dan perbudakan. Penggunaan obat penghilang rasa sakit saat ini tersebar luas di industri pengolahan unggas dan makanan laut, misalnya, di mana dokter atau perawat internal hanya diizinkan untuk meresepkan atau memberikan obat penghilang rasa sakit dan harus menasihati pekerja untuk tetap bekerja. Pereda rasa sakit tentu saja hanya membunuh sinyal yang dikirim tubuh kepada kita untuk berhenti dan beristirahat. Paksaan untuk tetap bekerja tentu saja berasal dari sistem upah borongan dan kuota itu sendiri.

4.        Hipertermia mengacu pada suhu tubuh yang sangat tinggi yang mengancam kesehatan kita.

 

 

 

 

Lihat postingan aslinya melalui link dibawah ini :

https://iufap.org/2021/12/12/buruh-bukanlah-komoditas-tapi-tekanan-akan-upah-borongan-kuota-dan-ketakutanlah-yang-menyebabkan-buruh-menjadi-komoditas/

Posting Komentar

© 2013 - 2021 Federasi Serikat Pekerja Mandiri. Developed by Jago Desain