Kesadaran Kolektif, Kekuatan Kolektif, dan Kemenangan Kolektif

Serikat buruh menjadi corong terdepan dalam pergerakan. Namun sejatinya Ia adalah keinginan, atau justru kebutuhan?



Serikat Buruh, Kebutuhan atau Keinginan?

Sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia sejak akhir triwulan pertama tahun 2020, sudah banyak perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada para pekerjanya dengan cara-cara yang sering kali sangat menyesakkan, seperti misalnya dengan cara memaksakan agar para pekerjanya mengambil pensiun dini dengan memasukkan para pekerja tersebut dalam daftar nama pekerja yang akan dipensiun-dinikan, dipotong upahnya tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu, di PHK dengan alasan force majeure, efisiensi, bahkan di PHK tanpa pesangon sepeserpun.

Belum lagi dengan diundangkannya UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang kemudian diikuti dengan munculnya PP No. 34, 35, 36, 37 tahun 2021 yang sangat tidak berpihak kepada pekerja, dimana fleksibilitas tenaga kerja menjadi sangat lentur dan alasan PHK semakin mudah, sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa serikat buruh sekarang ini menjadi kebutuhan bagi setiap pekerja untuk bisa mempertahankan hak penghidupannya di tempat kerjanya masing-masing.

Dalam banyak kasus PHK karena dengan alasan pandemi covid-19, dan kemudian juga mulai maraknya PHK dengan menggunakan dasar hukum UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta kerja serta PP No. 35 tahun 2021, banyak diantaranya dari para pekerja yang di PHK tersebut adalah anggota serikat pekerja, namun demikian, meskipun mereka menjadi anggota serikat pekerja, mereka justru bingung dan tidak tahu harus melakukan apa? Mereka dengan terpaksa menerima “penawaran” pensiun dini, menerima di PHK dengan alasan efisiensi, atau dengan alasan force majeure, meskipun sebenarnya mereka masih ingin tetap bekerja di perusahaan tersebut, apalagi dalam situasi sekarang, dimana perekonomian masih lesu akibat dari pandemi covid-19.

Para pekerja ini, yang notabene adalah anggota serikat pekerja, hanyalah satu contoh dari ketidaktahuan atau ketidakpahaman mereka sebagai pekerja yang menjadi anggota serikat pekerja, yang tidak tahu harus berbuat apa? mengapa mereka menjadi anggota serikat pekerja? dan apa manfaatnya menjadi anggota serikat pekerja?

Sebenarnya, apabila kita (para pengurus serikat) runut lagi penyebabnya, ternyata sering kali kita lupa, ketika kita mendirikan serikat, pada saat rapat pembentukan serikat pekerja, belum ada Ketua serikat, belum ada Sekretaris Umum, belum ada Bendahara, belum ada Komite-komite, maupun Dewan Perwakilan Anggota. Pada saat itu, semua pekerja merasa senasib sepenanggungan, bahwa mereka adalah pekerja yang harus bersatu, sehingga kemudian mereka mengesampingkan posisi, jabatan, dan level mereka, dan melebur menjadi satu dalam sebuah serikat pekerja.

Namun demikian, yang menjadi pertanyaan adalah “Apakah pada saat mendirikan serikat pekerja, para pendiri serikat pekerja itu sudah mempunyai kesadaran kolektif tentang mengapa mereka harus berserikat?” Jawabannya tentu saja sangat relatif, bisa iya, bisa tidak.

Dalam beberapa cerita pengalaman mendirikan serikat pekerja, pada saat pendiriannya, ternyata tidak semua pendiri serikat mempunyai kesadaran kolektif, ada juga yang tidak paham sepenuhnya, bahkan beberapa diantaranya hanya ikut-ikutan saja, yang penting mereka mendukung, dan memenuhi syarat minimal 10 orang untuk mendirikan serikat pekerja terpenuhi, apakah para pendiri ini sepenuhnya memahami mengapa harus mendirikan atau membentuk serikat pekerja, itu urusan belakangan, yang penting, sudah berdiri serikat pekerja.

Tentu saja bisa dibayangkan bagaimana kemudian ketika para pengurus serikat pekerja (yang tidak semuanya mempunyai kesadaran kolektif yang sama) ini melakukan rekruitmen anggota serikat, “Apakah anggota serikat yang baru bergabung, yang bukan sebagai pendiri serikat, akan mendapatkan pemahaman tentang Serikat Pekerja dari para pengurus serikat dan kemudian mempunyai kesadaran kolektif?” sedangkan para pendiri serikatnya saja belum tentu mempunyai kesadaran kolektif.

Dalam perjalanannya, sering kali serikat pekerja yang sudah (lama) terbentuk, berubah menjadi sekumpulan orang-orang (para pengurus) yang merasa dirinya sebagai serikat pekerja, sedangkan anggota serikat pekerja, bukanlah serikat pekerja, ironisnya, anggota serikat pekerja juga menganggap demikian, serikat pekerja adalah para pengurus, sedangkan mereka sendiri (anggota serikat pekerja) bukan serikat pekerja.

Belum lagi kita bicara tentang kewajiban anggota serikat pekerja, sudah menjadi hal yang umum, bahwa kewajiban anggota itu hanya membayar iuran, selebihnya, seperti misalnya mengikuti kegiatan serikat, mengikuti pelatihan, mengikuti rapat-rapat organisasi, bergabung dalam aksi solidaritas, bukanlah “kewajiban” mereka, semuanya diserahkan kepada para pengurus. Itu kenapa, sering kali kegiatan-kegiatan serikat menjadi “garing” karena tidak ada atau kurangnya partisipasi aktif dari para anggotanya.

Bagaimana dengan tanggung jawab pengorganisasian? Lagi-lagi kegiatan ini juga menjadi tanggung jawab para pengurus, sehingga sampai pada pemahaman sesat, “Pengurus adalah Serikat, Serikat adalah Pengurus”.

Seolah-olah para pengurus serikat ini adalah sekumpulan orang-orang hebat yang menangani segala hal yang berhubungan dengan serikat pekerja, dari pengorganisasian, administrasi, pendidikan, rapat serikat, advokasi, negosiasi, melayani anggota, dll. Para pengurus, terutama ketua serikat, harus mau meluangkan waktunya selama 24 jam dalam sehari untuk bisa melayani para anggota serikat, baik itu tentang permasalahan ketenagakerjaan yang dialami oleh si pekerja, tentang pelayanan di rumah sakit yang berhubungan dengan plafon asuransi kesehatan, pokoknya, dari a sampai z.

Salah kaprah ini seringkali diperparah dengan situasi dimana ketika kepengurusan serikat pekerja terbentuk, para pengurusnya tidak memahami apa yang harus dilakukan selama menjadi pengurus, para pengurus tidak terbiasa menyusun rencana kerja selama periode kepengurusan serikat pekerja. Pengurus Serikat hanya beraktivitas menjalankan kegiatan serikat ketika ada permasalahan yang menimpa anggota atau ketika berunding dengan pihak pengusaha, artinya, kegiatan serikat hanya bersifat reaktif, sporadis, dan musiman saja.

Padahal, seharusnya, kegiatan serikat itu harus direncanakan, sejak terpilih menjadi Pengurus serikat sampai selesai kepengurusannya, kegiatan serikat harus berkesinambungan.

Lalu apa solusi dari kondisi serikat pekerja yang seperti ini? Jawabannya adalah PENDIDIKAN UNTUK ANGGOTA.



Pendidikan untuk Anggota

Pendidikan yang berkesinambungan pada dasarnya dapat menghindari kendala regenerasi dengan baik, setidaknya setiap anggota akan mendapatkan pendidikan yang sama, sehingga setiap anggota akan mempunyai dasar pemahaman yang sama tentang serikat pekerja, dari sini kesadaran kolektif bisa ditumbuhkan.

Misalnya saja, Pengurus serikat membuat sebuah rencana pendidikan dasar yang harus (WAJIB) diikuti oleh setiap anggota serikat, yaitu:

  • Dasar-dasar serikat pekerja,
  • Hukum ketenagakerjaan,
  • Pengorganisasian, dan
  • Sosial politik.

Biasanya, kelas yang efektif adalah maksimal 20 orang/kelas, sehingga apabila jumlah anggota serikat pekerja adalah 100 orang, maka akan ada 5 kelas dengan peserta yang berbeda, dengan materi yang sama.

Maka dari data di atas, pengurus dapat membuat rencana kerja tentang pendidikan dasar bagi anggota serikat pekerja dalam 1 tahun, dimana apabila setiap kelas dilaksanakan setiap 1 minggu sekali, maka setiap materi akan dilaksanakan dalam 5 kelas yang berbeda, sehingga untuk 4 materi, maka akan ada 20 kelas untuk 4 materi, dan artinya adalah ada 20 minggu pertemuan (5 bulan).

Dengan skema seperti ini saja, maka sebenarnya pendidikan untuk para anggota dapat dilaksanakan, dan anggota yang pernah mendapatkan pendidikan setidaknya mengerti tentang hal-hal yang berkaitan dengan ketenagakerjaan.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan kepesertaan anggota dalam pendidikan tersebut? Jawabannya adalah, setiap anggota DIWAJIBKAN untuk mengikuti pendidikan tersebut, dan apabila tidak mengikuti pendidikan wajib tersebut, maka anggota tersebut akan mendapatkan sanksi yang sudah disepakati bersama, misalnya saja:

  • Apabila tidak mengikuti 1 materi pendidikan, maka diberikan sanksi surat peringatan 1;
  • Apabila tidak mengikuti 2 materi pendidikan, maka diberikan sanksi surat peringatan 2;
  • Apabila tidak mengikuti 3 materi pendidikan, maka diberikan sanksi surat peringatan 3;
  • Apabila tidak mengikuti 4 materi pendidikan, maka diberikan sanksi dikeluarkan dari keanggotaan serikat pekerja.

Agar jadwal pendidikan dapat menyesuaikan dengan jadwal kerja anggota, maka pengurus dapat menyediakan sebuah jadwal pendidikan yang sudah ditentukan hari, tanggal dan waktu pelaksanaan, dan kemudian anggota menulis namanya di kolom jadwal pendidikan dimana mereka bisa mengikuti pendidikan berdasarkan tanggal yang sudah ditentukan oleh pengurus serikat pekerja.

Anggota yang terdidik, yang mendapatkan pendidikan yang layak tentang ketenagakerjaan akan membuat serikat pekerjanya menjadi kuat.

Di sisi lain, pengusaha atau yang biasanya diwakili oleh pihak manajemen perusahaan, bukanlah kumpulan orang-orang yang tidak mengetahui dimana letak kekuatan serikat pekerja di perusahaannya, mereka sangat paham, mereka akan mengetahui apakah kekuatan serikat pekerja di perusahaan tersebut hanya ada pada ketuanya saja? atau hanya pada para pengurus serikatnya saja? atau pada seluruh anggotanya? dan ini akan direspon berbeda oleh pengusaha.

Dalam beberapa pengalaman perjuangan serikat pekerja, apabila kekuatan serikat pekerja itu ada pada ketua dan atau para pengurusnya, misalnya dalam konteks pemotongan upah karena pendemi covid-19, dan pihak pengusaha mengetahui, para anggota serikatnya adalah titik lemah dari serikat pekerja tersebut karena tidak pernah mendapatkan pendidikan yang layak, maka kemudian pihak pengusaha mengambil strategi dengan memanggil satu per satu masing-masing pekerja untuk diminta menandatangani surat kesepakatan pemotongan upah. Di sisi lain, pihak pengusaha paham betul bahwa perjanjian bersama itu ada 2 macam, yaitu:

  1. Perjanjian bersama secara kolektif, yaitu antara pengusaha dengan serikat pekerja, dan
  2. Perjanjian bersama secara individu, yaitu antara pihak pengusaha dengan masing-masing pekerja.

Lain halnya apabila kekuatan serikat pekerja ada pada seluruh anggota, apabila kekuatan kolektif mampu dioptimalkan, maka ketika pihak pengusaha akan mencoba menerapkan pemotongan upah karena pandemi covid-19, dan seluruh anggota sudah mendapatkan pendidikan yang layak dan paham harus berbuat apa ketika dipanggil satu per satu oleh pihak pengusaha, maka ketika pihak pengusaha memanggil satu per satu masing-masing pekerja untuk menandatangani surat kesepakatan pemotongan upah, setiap pekerja tersebut akan menolak menandatanganinya, sehingga pihak pengusaha akan menyadari bahwa kekuatan serikat pekerja di perusahaannya tidak bisa diremehkan.




Anggota Serikat, Kekuatan atau Kelemahan Serikat Pekerja?

Kita semua paham, kekuatan riil serikat pekerja ada pada seluruh anggotanya, maka serikat pekerja juga seharusnya memahami bahwa kekuatan tersebut harus benar-benar nyata, dan untuk itu, langkah-langkah konkret harus diambil agar kekuatan riil itu dapat diwujudkan.

Kekuatan anggota tentu saja tidak bisa didapat secara instan, kekuatan itu harus didapat melalui sebuah proses pendidikan yang berkesinambungan kepada setiap anggota serikat, dan melalui kegiatan-kegiatan serikat lainnya.

Selama ini (biasanya) pendidikan serikat hanya bisa dinikmati oleh Ketua, atau setidaknya para pengurus serikat, sebenarnya ini tidak sepenuhnya salah, karena logika yang dipakai adalah, ketika pendidikan atau pelatihan yang diberikan kepada para pengurus serikat, maka harapannya, proses selanjutnya adalah para pengurus serikat membuat pendidikan yang serupa kepada seluruh anggota. Namun biasanya ini hanya menjadi sebuah rencana dan harapan saja, realisasinya biasanya tidak ada. Pendidikan yang ditujukan kepada para anggota serikat, sering kali tidak atau jarang terlaksana, Anggota jarang sekali (baca : tidak pernah) mendapatkan pendidikan, apalagi pendidikan yang layak.

Pada situasi seperti ini, dimana anggota tidak pernah mendapatkan pendidikan setidaknya dari para pengurusnya, maka dapat dipastikan anggota serikat yang tidak terdidik ini, yang seharusnya menjadi kekuatan serikat, akan berbalik menjadi titik lemah dari serikat pekerja. begitu pula sebaliknya, apabila setiap anggota mendapatkan pendidikan yang berkesinambungan, dan mendapatkan pendidikan yang layak, maka anggota serikat akan menjadi kekuatan utama dari serikat, dan kekuatan ini adalah kekuatan riil serikat pekerja.

Pada kondisi ini, dimana kesadaran kolektif dimulai dengan pendidikan kepada setiap anggota, sehingga kemudian anggota yang terdidik ini menjadi kekuatan kolektif serikat pekerja, dan itu artinya serikat pekerja ada pada jalur kemenangan kolektif.

Anggota yang terdidik dan mendapatkan pendidikan yang layak, akan menjadi aset serikat pekerja, mereka akan menjadi agen perubahan, tidak hanya di tempat kerja, tetapi juga di lingkungan ekternal perusahaan, sehingga serikat pekerja sebagai organizing Union, bukanlah sebuah utopia.

Menunggu anggota tersadar dengan sendirinya, terkadang menjadi sebuah penantian yang sia-sia, kemudian pertanyaan klise muncul untuk sekedar saling menyalahkan, ”Lebih dulu mana, telur atau ayam?”. Apabila telur representasi Pengurus Serikat, dan ayam adalah representasi dari anggota Serikat, maka jawabannya seharusnya sudah sangat jelas, “telur” sebagai representasi dari Pengurus Serikat.

Pengurus serikat yang biasanya seringkali dan biasanya mendapatkan pelatihan atau pendidikan serikat, harus menjadi pihak yang mempunyai inisiatif untuk membangun kesadaran kolektif, yang nantinya akan menjadi kekuatan kolektif.

Kekuatan kolektif yang menjadi senjata serikat pekerja/ buruh harus dibangun sejak awal, dan tentu saja membutuhkan proses serta kontinuitas, agar seluruh anggota serikat mempunyai kesadaran yang sama bahwa mereka adalah kelas pekerja yang harus bahu membahu membangun solidaritas, membangun asa untuk tetap bisa mempertahankan hak dan mempertahankan kelangsungan bekerja dalam situasi seperti sekarang ini.



Iuran Anggota Serikat

Indikator lain yang menunjukkan bahwa sebuah serikat pekerja itu kuat atau tidak, dapat dilihat dari iuran anggotanya, tentu saja faktor-faktor yang mempengaruhi adalah cara mengumpulkan iuran dan besaran iuran yang harus diiurkan oleh setiap anggota.

Dalam hal cara mengumpulkan iuran, meskipun kita terbiasa dengan istilah pemotongan iuran melalui check off system, yaitu pengaturan pemotongan upah oleh pengusaha untuk iuran serikat dari upah yang diterima setiap bulannya, dan kemudian diserahkan kepada serikat pekerja, sistem ini tidak sepenuhnya tanpa kelemahan.

Dari banyak pengalaman perjuangan serikat, check off system hanya dapat dilaksanakan ketika hubungan antara pihak pengusaha dan pihak serikat pekerja, baik-baik saja. Artinya, kelemahan dari check off system ini adalah, ketika terjadi konflik antara pengusaha dengan serikat pekerja, sering kali kemudian pengusaha menghentikan melakukan pemotongan upah untuk iuran serikat dengan berbagai alasan yang dibuat-buat, seperti misalnya adanya sistem yang baru yang tidak memungkinkan adanya pos pemotongan upah untuk lain-lain, hasil audit yang merekomendasikan agar tidak boleh ada pos-pos yang tidak perlu, dan sebagainya.

Ketika check off system dihentikan oleh pengusaha, maka serikat akan kesulitan untuk melakukan pemungutan iuran dari setiap anggota, ironisnya, pengurus Serikat pekerja tidak mengetahui berapa jumlah anggota serikat karena datanya ada pada bagian keuangan Perusahaan, sehingga ketika akan melakukan pemungutan iuran secara manual, para pengurus serikat tidak mempunyai data yang akurat, siapa-siapa saja anggota serikat di perusahaan tersebut.

Belakangan, meskipun bukan hal yang baru, pembayaran iuran melalui auto debet dengan menggunakan sistem perbankan, menjadi pilihan beberapa serikat pekerja, dimana setiap anggota memberikan kuasa kepada pihak bank untuk melakukan pemotongan saldo rekening dari si pekerja, sebesar iuran serikat dalam 1 bulan, pada tanggal tertentu setiap bulannya dan kemudian ditransfer ke rekening Serikat pekerja.

Melalui auto debet, maka iuran anggota dapat dilakukan dengan optimal dan konsisten, selain itu, pengusaha juga tidak mengetahui siapa-siapa saja yang menjadi anggota serikat dan berapa jumlah iuran serikat yang diiurkan oleh anggota setiap bulannya.

Sedangkan untuk besaran iuran anggota, meskipun tidak ada ketentuan baku, namun besaran iuran serikat dalam bentuk persentase dapat menjadi rujukan dalam menentukan besaran iuran, biasanya 1% -2% dari upah yang diterima dalam 1 bulan. Cara lain dalam menentukan besaran iuran anggota serikat beberapa diantaranya misalnya, sebesar 2,5 kali upah/jam, 1% dari take home pay, dll.

Selain itu perencanaan keuangan serikat dalam bentuk anggaran (budgeting), dan pelaporan iuran anggota dalam bentuk laporan keuangan yang sederhana dan dilaporkan kepada anggota secara periodik, transparan, akuntabel, serta disertai dengan dokumen pendukung, dan sudah dilakukan audit, akan semakin menunjukkan bahwa serikat tersebut kuat atau tidak.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah pengawasan, dimana peran serta anggota serikat dibutuhkan dalam mengawasi penggunaan iuran serikat agar tidak terjadi penyimpangan. Pengawasan oleh anggota serikat hanya bisa terjadi apabila anggota serikat mempunyai perhatian dan kepedulian kepada serikatnya, dan ini hanya bisa diperoleh dari anggota serikat yang pernah mendapatkan pendidikan yang layak dan berkaitan dengan iuran serikat, yaitu administrasi keuangan serikat pekerja.

Dengan adanya pengawasan melekat dari seluruh anggota serikat mengenai iuran anggota, maka para pengurus juga berusaha agar setiap uang yang masuk dan keluar dapat dipertanggungjawabkan dengan baik, sehingga konflik internal yang berhubungan dengan penyimpangan iuran serikat dapat dihindari, karena biasanya, ketika konflik yang muncul dikarenakan adanya penyalahgunaan uang iuran serikat, akan merembet ke konflik-konflik lainnya, dan berujung pada perpecahan di dalam tubuh serikat, dan akhirnya menjadi kontra produktif terhadap perjuangan serikat.

Lain halnya apabila iuran anggota dapat dioptimalkan dan konsisten, serta penggunaannya sesuai dengan peruntukannya, iuran anggota akan menjadi salah satu kekuatan dan penentu dalam perjuangan serikat.

Iuran serikat juga menentukan independensi serikat pekerja, semakin kuat iurannya, maka semakin independen serikatnya, semakin lemah iurannya, semakin tidak independen serikatnya.

Sekali lagi, iuran anggota hanya akan optimal dan konsisten apabila seluruh anggota mempunyai kesadaran kolektif, dan kesadaran kolektif itu terkadang harus ditumbuhkan melalui pendidikan yang dipaksakan kepada para anggota, yaitu melalui pendidikan wajib yang harus diikuti oleh seluruh anggota serikat.

Dalam situasi seperti ini, kalimat “Diam ditindas atau bangkit melawan” sudah tidak seharusnya hanya menjadi jargon, tidak ada waktu untuk meratapi nasib, sudah saatnya buruh dimanapun berada untuk membangun asa dengan membentuk serikat pekerja/ buruh untuk memperjuangkan masa depan pekerja dan keluarganya agar tetap cerah.



1 komentar

  1. Mantap nich artikel nya...nambah pinter,nambah berani memperjuangkan hak buruh
© 2013 - 2021 Federasi Serikat Pekerja Mandiri. Developed by Jago Desain